27 September 2007

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium
UNTUK MEMASOK BAHAN BAKU PULP DAN KAYU PERTUKANGAN JANGKA PENDEK

Saifudin Ansori

Pendahuluan
Hutan alam produksi Indonesia semakin hari semakin menipis potensinya. Bahkan akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan bahwa kondisi hutan alam kita telah rusak sebagai akibat berbagai hal, seperti penebangan liar (illegal logging), perambahan, kebakaran hutan dan konversi menjadi fungsi lain. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri perkayuan jauh lebih besar daripada kemampuan hutan alam produksi dalam menghasilkan pasokan kayu untuk memasok keperluan industri.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI), terutama jenis cepat tumbuh (fast growing species), sangat diharapkan kontribusinya, tidak saja sekedar meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak, tetapi sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek. Hasil kayu dari hutan tanaman ini tidak saja diperuntukkan sebagai bahan pulp, tetapi juga dapat diperuntukkan sebagai bahan non pulp seperti kayu gergajian (sawn timber), wood working, veneer, particle board, MDF (medium density fiberboard), energi (bio-fuel) dan sebagainya. Untuk mendapatkan tegakan (kayu) yang berkualitas baik, tentu saja, upaya melalui perlakuan silvikultur intensif mutlak dilakukan.
Saat ini, mayoritas tanaman yang dibudidayakan dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia adalah jenis Acacia mangium. Dipilihnya jenis ini, dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Pertumbuhan cepat,
• Adaptif pada tanah-tanah dengan tingkat kesuburan rendah dan kemasaman relatif tinggi,
• Menghasilkan kayu yang cocok untuk bahan baku pulp dan non pulp. Kualitas pulp A. mangium setara dengan kualitas pulp Eucalyptus yang telah banyak beredar di pasar pulp dunia. Kayu A. mangium juga baik untuk bahan kayu pertukangan,
• Budidaya A. mangium relatif mudah, mulai dari penanganan benih, persemaian, sampai dengan penanaman di lapangan,
• Mempunyai respon positif terhadap upaya seleksi, sehingga mudah didapatkan benih unggul.

Pengalaman menyediakan bahan baku pulp dari hutan tanaman Acacia mangium
Pada pertengahan 1990an, beberapa perusahaan HTI telah memulai melakukan pemanenan A. mangiu. Tanaman yang berhasil memerlukan pola silvikultur intensif. Hasil pemanenan, sebagian besar bahklan hamper seluruhnya diperlukan untuk memasok industri pulp. Dari beberapa site didapatkan data bahwa volume komersial rata-rata mencapai 200 m3/ha.
Umur masak tebang A. mangium untuk bahan pulp adalah 8 tahun, tetapi kombinasi umur tebangan dari 6 hingga 10 tahun telah direncanakan dengan maksud menyebar beban pekerjaan berdasarkan lokasi dan kelas umur tegakan. Inventarisasi pra tebang dilakukan setidaknya setahun sebelum penebangan untuk mendapatkan data tentang potensi volume, menentukan jalur tebang dan ekstraksi kayu, serta pembangunan/perbaikan jaringan jalan.
Sistem pemanenan yang dipakai adalah organized felling system. Sistem ini terdiri atas kombinasi tebangan manual memakai chainsaw, pemotongan cabang (triming), pemotongan dengan ukuran sortimen 2,5 m (bucking), penumpukan kayu di tempat (stacking), dan penyaradan kayu (extraction) menggunakan forwarder.
Penebangan dilakukan oleh regu tebang terdiri dari seorang operator chainsaw dibantu oleh tiga orang (helper) untuk mendorong pohon kearah rebah, mengukur (scaling) dan menumpuk (stacking) sortimen di tempat. Untuk memudahkan pengawasan, 15 regu penebang bekerja dalam satu petak tebang (setting tebang) dan dibawah satu kontraktor/pemborong.
Penebangan dirancang menggunakan 5 atau 7 baris pohon, di mana barisan tengah berfungsi sebagai as (sumbu) dan semua pohon direbahkan ke barisan tengah tersebut . Lima baris untuk jarak tanam 3 m, dan 7 baris untuk jarak tanam 2 m. Cabang-cabang dihilangkan, dan kayu dipotong menjadi 2,5 m dengan diameter terkecil 8 cm (dengan kulit). Sisa kayu, cabang-cabang (diameter kurang dari 8 cm) dan daun ditinggal dan ditumpuk sebagai landasan forwarder . Tumpukan residu tebangan ini dimanfaatkan untuk meminimalkan pemadatan (kerusakan) tanah akibat lintasan forwarder.
Ekstraksi kayu dilakukan pada saat kondisi lengas tanah rendah untuk mengurangi efek pemadatan tanah. Kayu-kayu disarad ke tempat penumpukan kayu sementara (TPn), yaitu di pinggir jalan.
Kayu di TPn dapat diangkut ke pabrik sekitar 3 - 6 bulan kemudian. Pengangkutan dilakukan memakai logging truck berkapasitas sekitar 40 m3.

Silvikultur intensif Acacia mangium
Tidak bisa disangsikan lagi, bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman memerlukan penerapan teknik-teknik silvikultur yang intensif untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tegakan secara lestari dan berkesinambungan. Penerapan teknik silvikultur intensif, dimulai ketika memilih spesies yang cocok dan sesuai ditumbuhkan pada lahan yang ada, serta diintegralkan kedalam industri atau peluang pasar. Di dalam operasional kegiatannya, perlu dicari dan ditentukan teknik-teknik yang mudah dan mendukung dalam memperoleh produktivitas yang tinggi, sekaligus meningkatkan mutu lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat (Arisman, 2000). Untuk itu perlunya penataan areal (di awal kegiatan), dan penerapan teknologi dan dukungan ilmu pengetahuan pada setiap komponen kegiatan.

Penataan areal
Sebelum dilakukannya pembangunan tanaman, proses pertama yang dilakukan adalah penataan areal. Secara garis besar areal bisa dibagi menjadi Wilayah-wilayah (berdasarkan letak geografis dan luas areal). Kemudian dari wilayah ini dibagi ke dalam beberapa unit, dengan luas 15.000 - 20.000 ha. Unit dibagi lagi ke dalam blok, dengan luas sekitar 5.000 ha. Kemudian, blok dibagi ke dalam subblok, dengan luas sekitar 1.000 ha, dan sub-blok dibagi kedalam petak seluas 50 ha, arah utara-selatan 1.000 m, dan barat-timur 500 m. Petak merupakan satuan pengelolaan terkecil. Tetapi petak ini bisa terbagi lagi menjadi anak petak.
Pada daur kedua, setelah penebangan daur pertama, dilakukan rekonstruksi petak berdasarkan kondisi geografis, dengan diterapkannya teknologi sistem informasi geografi (geographic information systems).
Untuk mendukung operasional, dibangunlah infrastruktur, seperti jalan utama, jalan cabang, jalan tanam maupun jalan inspeksi, jembatan, dan sebagainya. Areal yang dipakai untuk infrastruktur ini, mencapai sekitar 20 m2/ha. Untuk mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, perlu dipertahankannya kawasan hutan konservasi, zona proteksi (lebung, dan sempadan sungai), serta penanaman jenis lokal dan MPTS (multi purpose trees species).

Sistem silvikultur
Sistem silvikultur yang diterapkan untuk jenis Acacia mangium adalah tebang habis permudaan buatan. Sistem ini sesuai diterapkan pada lahan-lahan terdegradasi untuk tujuan pengusahaan hutan tanaman, dengan memakai teknik silvikultur yang intensif. Oleh karenanya, diperlukan areal yang luas dan relatif kompak, sehingga dapat dibuat tegakan tanaman yang sama umur, seragam, dan berkesinambungan dengan produksi yang tinggi dan kualitas yang baik.
Selain untuk produksi pulp, Acacia mangium juga baik digunakan sebagai kayu pertukangan. Pada petak-petak untuk menghasilkan kayu pertukangan dilakukan penjarangan. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan pulp, particle board atau energi.

Pengadaan Benih
Bibit A. mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi di persemaian. Pada awalnya, digunakan benih dari tegakan benih lokal yang belum terimprove, tetapi selanjutnya harus ditingkatkan dengan menggunakan benih unggul (asal benih maupun famili terpilih) dari hasil program pemuliaan pohon.
Dilihat dari nilai riap, hasil penelitian di Subanjeriji terdapat 5 provenans (dari 20 provenan) yang paling baik adalah berasal dan Papua Niugini dan Queensland, yaitu Oriomo R (PNG), Olive R (QLD), Wipim (PNG), Lake Muarray (PNG), dan Kini (PNG). Tetapi, apabila dilihat dari nilai/indeks kelurusan batang dan persistensi sumbu batang, 5 provenans terbaik adalah Oriomo R (PNG), Wipim (PNG), Muting (Merauke), Kuru (PNG), dan INHUTANI (Pohon plus) (Siregar dan Khomsatun, 2000). Untuk membangun tegakan kayu pertukangan, perlu dipertimbangkan pemakaian benih yang mempunyai indeks kualitas bentuk batang dan kelurusan tinggi, di samping riap pertumbuhannya. Program pemuliaan pohon harus terus dilakukan, seperti upaya peningkatan genetik melalui seleksi provenans dan seedlot, dalam rangka menghasilkan bahan tanam yang terbaik dan paling menguntungkan.
Saat ini, untuk menyebut contoh, di Sumatra Selatan telah terdapat area produksi benih (SPA; Seed Production Area) seluas 96,8 ha, kebun benih semai generasi pertama (SSO; Seedling Seed Orchard) seluas 49,5 ha, dan telah dibangun kebun benih campuran (composite seed orchard) seluas 14,5 ha. Setiap tahunnya, dari areal kebun benih seluas itu, mampu diproduksi benih A. mangium lebih dari 1 ton.

Persemaian
Pada awalnya (uji coba dan pengalaman awal) bibit diproduksi dalam kantong polybag dengan media topsoil, sabut kelapa sawit, dan gambut. Tetapi setelah melalui serangkaian penelitian, kemudian didapatkan container dan bahan yang efektif dan ekonomis, yaitu memakai polytube dan side slit, yang dapat merangsang pertumbuhan akar. Media yang dipakai adalah seresah yang diambil dari lantai hutan tanaman A. mangium dicampur dengan topsoil (perbandingan 70:30) atau sisa kulit A. mangium dari pabrik pulp yang telah dikomposkan.
Bibit dipelihara selama 3 bulan, kemudian dilakukan sortasi (grading). Standar bibit dilakukan agar bibit yang sampai ke lokasi penanaman benar-benar memiliki kualitas yang baik, seragam, mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bibit A. mangium yang berkualitas baik dan diperbolehkan untuk dikirim ke lapangan adalah yang mempunyai tinggi bibit 25-30 cm dan diameter > 3,0 mm, batang keras dan lurus, warna kecoklatan, daun tebal hijau, struktur akar kompak, media tidak pecah, bebas hama dan penyakit serta segar.
Bibit diangkut ke lokasi pertanaman memakai truk atau traktor. Untuk menjaga kualitas bibit, perlu dibuatkan tempat penampungan bibit (TPB) sementara di dekat lokasi pertanaman.

Persiapan lahan
Pada tahap awal pembangunan HTI, lahan alang-alang bertopografi datar/landai (kemiringan <15%),> 22 cm untuk kayu gergajian. Potensi kayu berdiameter >22 cm di Sumatra Selatan (MHP) mencapai 10 - 17% dari tegakan dengan jarak tanam awal 3m X 3m.
2. Membangun tegakan untuk kayu pertukangan melalui proses penjarangan.

Selain untuk kayu konstruksi dan pertukangan, peruntukan kayu A. mangium yang lain adalah sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Hashim et.al. (1998) melaporkan bahwa ketebalan papan partikel kayu A. mangium setara dengan papan partikel kayu karet.
Kayu A. mangium dapat juga diproses menjadi vinir dan kayu lapis. Vinir yang dihasilkan bersifat teguh, halus dan kualitasnya dapat diterima. Studi pembuatan kayu lapis dengan menggunakan perekat phenol formaldehide atau penol resin memberikan kualitas kayu lapis yang dapat diterima atau melebihi persyaratan minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993; Yamamoto, 1998).
Abdul-Kader dan Sahri (1993) juga membuktikan bahwa kayu A. mangium dapat dipakai sebagai bahan MDF yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan MDF dari beberapa spesies di Jepang, seperti Pinus resinosa, Cryptomeria japonica, Chamaecyparis obtusa dan Larix leptolepis. Kayu A. mangium telah digunakan sebagai bahan baku oleh beberapa perusahaan MDF di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan lentur dan geser LVL (laminated veneer lumber) dari kayu A. mangium lebih baik daripada nilai minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993).
Kayu A. mangium telah dicoba untuk pembuatan OSB (oriented strand board) yang hasilnya menunjukkan bahwa stabilitas dimensi dan kekuatannya memenuhi standar persyaratan Jepang (Lim, et.al., 2000)
Pembuatan arang dari kayu A. mangium telah dicoba (Hartoyo, 1993; Nurhayati, 1994; Pari, 1998; Fakultas Kehutanan, UGM 2000; Okimori et.al., 2003), dan berkualitas baik. Dengan diolah menjadi briket arang, nilai kalor dan karbon terikat meningkat, dan hasilnya lebih baik apabila dibandingkan dengan briket batubara (Fakultas Kehutanan UGM, 2000).

Membangun tegakan kayu pertukangan
Pada prinsipnya, silvikultur hutan tanaman untuk menghasilkan kayu pertukangan sama dengan membangun tegakan untuk bahan pulp (hingga umur tanaman 2 tahun). Setelah umur 2 tahun terdapat perbedaan, yaitu adanya kegiatan penjarangan (thinning), pemangkasan cabang (pruning), dan perawatan lanjutan. Secara umum kegiatan silvikultur pembangunan tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun disebutkan pada tabel 3.

Tabel 3. Kegiatan silvikultur untuk membentuk tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun dan perolehan volume yang dicapai
Umur
(th) Kegiatan Pohon tinggal Rerata Diameter (cm) Volume Total
(m3/ha) Vol. Kumulatif Panen (m3/ha)
Tinggal Penjarangan
2 - Penjarangan I (50%)
- Pruning 555 11 30 30 30
3 - Pruning
- Weeding total 555 13 60 30
4 - Penjarangan II (50%) 277 19 76 50 80
10-12 - Pemanenan (100%) 277 35 235 315

Penjarangan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pohon dalam tegakan dan memberikan ruang tumbuh yang cukup untuk memperoleh tegakan berdiameter pohon besar. Pemangkasan cabang dimaksudkan untuk menghilangkan percabangan untuk mengurangi cacat mata kayu (knot) yang berpengaruh pada kualitas kayu yang dihasilkan. Agar tegakan kayu pertukangan berkualitas baik, maka perlu dilakukan tahapan-tahapan, antara lain penentuan petak, kegiatan penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan (Gunawan, 2003).

Penentuan petak
Petak yang ditentukan sebagai calon tegakan kayu pertukangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tanaman telah berumur antara 2 – 3 tahun, tajuk (canopy) sudah saling menutup, diameter (dbh) batang sudah mencapai 9 – 12 cm, dan tinggi mencapai 7 – 9 m.
2. Pohon-pohon didalam Petak memiliki pertumbuhan yang baik (tinggi rata-rata 8 m, diameter rata-rata 11 cm) serta kualitas batang yang baik (lurus, tidak menggarpu (forking) sampai ketinggian 6 m).
3. Luas petak memadai, sehingga hanya diperlukan sedikit jumlah petak untuk mencapai target , dan letaknya mengelompok, agar lebih mudah dalam pelaksanaannya,
4. Aksesibilitas petak baik, yaitu dekat jalan dan tidak terpencil jauh. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pengamatannya.

Penjarangan
Penjarangan dilakukan dalam 2 tahap dalam 1 daur tanaman. Setiap tahap menghilangkan 50% dari populasi yang ada.
Penjarangan tahap pertama, dilakukan saat tanaman umur 2 tahun. Metode yang dipakai adalah selektif dan sistematik. Metode selektif, dilakukan dengan cara memilih tegakan yang mempunyai sifat baik untuk kayu pertukangan, seperti kelurusan batang, ketinggian bebas cabang, diameter batang, dan kesehatan tanaman. Metode sistematik hanya dilakukan pada jalur sarad (setiap jarak 50 m), yaitu menebang seluruh pohon pada jalur sarad. Jalur sarad ini dipakai untuk akses mengeluarkan kayu hasil penjarangan untuk dimanfaatkan dengan tujuan lain (pulp, energi, papan partikel dsb).
Penjarangan tahap kedua dilakukan sewaktu tajuk antar-tanaman sudah saling menutup kembali (tanaman berumur 4 – 5 tahun).
Penebangan (penjarangan) menggunakan chainsaw ukuran kecil, dan dilakukan secara hati-hati karena pola tebangnya tidak teratur. Rebah pohon tebangan diarahkan sedemikian rupa, sehingga tidak merusak tajuk pohon-pohon yang ditinggalkan. Batang hasil penebangan dipotong-potong sesuai kebutuhan untuk dimanfaatkan dan dikumpulkan (secara manual) di pinggir jalur sarad, kemudian dikeluarkan ke TPn (pinggir jalan).

Perawatan lanjutan
Perawatan tanaman setelah penjarangan yang perlu dilakukan adalah kegiatan pemangkasan cabang dan pengendalian gulma (weeding). Pemangkasan cabang dilakukan dua kali; bersamaan penjarangan pertama, dan setahun setelah penjarangan pertama.
A. mangium mempunyai kemampuan self pruning yang sangat rendah, oleh karenanya sangat penting dilakukan pruning untuk memperoleh kayu pertukangan yang baik. Keterlambatan tindakan pruning akan mengakibatkan beberapa hal:
1. Mengurangi sifat keteguhan kayu, karena serat mata kayu relatif tegak lurus serat batang pohon,
2. Menyulitkan pengerjaan karena kerasnya penampang mata kayu,
3. Mengurangi keindahan permukaan kayu, dan
4. Menyebabkan berlubangnya lembaran-lembaran veneer.

Pohon-pohon tinggal harus dipangkas cabangnya menggunakan gergaji pangkas atau gunting pruning. Pemangkasan dilakukan dengan memotong cabang tepat pada leher cabang. Pemangkasan yang meninggalkan sisa cabang, akan menyebabkan sisa cabang tersebut mati dan membusuk yang pada akhirnya menjadi jalan bagi infeksi jamur, disamping akan membuat kayu cacat. Sebaliknya, pemangkasan terlalu dalam akan meninggalkan luka besar yang membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya. Pemangkasan yang tepat akan meninggalkan luka yang kecil dan tanpa sisa cabang, sehingga luka akan cepat tertutup kembali oleh kalus.
Setiap periode pemangkasan, tajuk hidup yang ditinggalkan minimal sebesar 50% dari tinggi pohon. Meninggalkan tajuk kurang dari 50% akan menghambat pertumbuhan diameter pohon. Pada akhirnya nanti diharapkan kayu pertukangan yang dihasilkan memiliki batang bebas mata kayu sampai pada ketinggian 4–6 m. Oleh karena itu pemangkasan cabang dilakukan sampai setinggi 4,2 m dimana 0,2 m adalah cadangan untuk kerusakan dan pecah ujung.
Weeding setelah penjarangan, tidak seintensif seperti 2 tahun pertama. Kalau weeding pada dua tahun pertama bertujuan untuk mengurangi kompetisi dengan gulma, maka kegiatan weeding pasca penjarangan ini lebih ditujukan untuk mepermudah akses inventory dan supervisi, dalam mendapatkan tegakan kayu pertukangan yang berkualitas.

Biaya pembangunan tegakan kayu pertukangan
Pembangunan tegakan A. mangium untuk pertukangan hingga umur 2 tahun sama dengan biaya pembangunan untuk bahan pulp. Tetapi setelah umur 2 tahun diperlukan tambahan biaya, yaitu penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan. Total biaya operasional dari awal hingga siap panen adalah Rp. 2.841.250,-/ha (diluar biaya investasi dan overhead).

Kesimpulan
1. Hutan tanaman merupakan sebuah keniscayaan untuk menyediakan bahan baku industri secara berkelanjutan.
2. Pemilihan jenis-jenis cepat tumbuh dilakukan untuk memenuhi pertimbangan ekonomi, finansial dan tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar. A. mangium merupakan jenis yang memenuhi syarat untuk diusahakan, mudah dibudidayakan, adaptable untuk lahan-lahan marginal, produktif dan responsif terhadap upaya pemuliaan pohon, serta multiguna.
3. Penerapan silvikultur intensif, manipulasi genetik dan pemuliaan pohon, mutlak diperlukan untuk peningkatan riap dan kualitas kayu.
4. Pemilihan jenis cepat tumbuh dan penerapan silvikultur intensif merupakan langkah awal yang harus segera ditempuh untuk memupuk sumberdaya guna membangun kembali kehutanan Indonesia.

Daftar pustaka
Abdul-Kader, R. and Sahri, M. H. 1993. Properties and Utilization. In: Awang, K and Taylor, D. (eds.). Acacia mangium. Growing and utilization. Winrock International and FAO. Bangkok, Thailand.
Arisman, H. 2000. Strategi silvikultur intensif untuk pembangunan hutan tanaman: pengalaman dari hutan tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Dalam: Hardiyanto, E.B. (Ed.). 2000. Prosiding seminar nasional status silvikultur 1999. Peluang dan tantangan menuju produktivitas dan kelestarian sumberdaya hutan jangka panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dwianto, W., Sudijono, Iida, I., Subyakto and Yusuf, S. 2003. Mechanical properties, fire performance and termite resistence of Acacia mangium Willd. In: Baba, K., Honda, Y., Imamura, Y., Kawai, S., Tanaka, F., Umezawa, T. and Dwianto, W. (Eds.). 2003. Proceeding of International Sysposium on Sustainable Utilization of Acacia mangium, October 21-22, 2003. Wood Research Institute and Radio Science Center for Space and Atmosphere. Kyoto. Japan.
Gunawan, R. 2003. Membangun Tegakan Kayu pertukangan. Research and Development News Letter PT. Musi Hutan Persada, No. 08/II, Januari 2003. Tidak dipublikasikan
Hardiyanto, E.B., S. Anshori, and D. Sulistyono. 2003. Early results of site management in Acacia mangium Plantation at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra Indonesia. Paper presented at the Fifth workshop on Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest, 24 February – 1 March 2003, Guangzhou, PR China
Hardiyanto, E.B., Ryantoko, A. and Anshori, S. 2000. Effects of Site management in Acacia mangium Plantations at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra. Dalam: Nambiar, E.K.S., Tiarks, A., Cossalter, C. and Ranger, J. (eds.) 2000. Site management and productivity in tropical plantation forest: a progress report. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. 112 p
Hardiyanto, E.B., Siregar, S.T.H., Wahyono, R., dan Rokhim, M. 2000. Hasil Uji provenans Acacia mangium Umur 5,5 Tahun di Setuntung. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 7. Tidak dipublikasikan
Hashim, R, Yamamoto, H, and Sulaiman, O. 1998. Dimensional stability of Acacia mangium particleboard grown in Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species – Wood Properties and Utilization, penang, Malaysia, 16-18 March 1998.
Lim, N.P., Pek, Y.K., and Korai, H. 2000. Preliminary assesment of Acacia mangium grown in Sarawak, Malaysia for manufacture of oriented strand board. Paper presented at XXI IUFRO World Congress 2000, 7-12 August 2000. Kuala Lumpur.
Oemijati dan Mukmin, F. 2000. Hama dan penyakit potensial Acacia mangium Willd. rotasi kedua. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 8. Tidak dipublikasikan
Okimori, Y., Seki, N., Anshori, S. dan Sulistiyono, D. 2003. Pembuatan arang kayu dari residu tebangan Acacia mangium. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 13 No. 2, Maret 2003. Tidak dipublikasikan
Siregar, S.T.H. dan Khomsatun. 2000. Volume dan bentuk batang Acacia mangium pada uji provenans umur 24 bulan. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 02. Tidak dipublikasikan
Sutigno, P. (Peny.). 2000. Himpunan sari penelitian Mangium dan Tusam. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. 78 p
Tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan akhir penelitian pemanfaatan limbah tebangan Acacia mangium di HPHTI PT. Musi Hutan Persada sebagai arang briket. Kerjasama antara: HPHTI PT. Musi Hutan Persada dan Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Yamamoto, H. 1998. The evaluation of wood qualities and working properties for the end use of Acacia mangium from Sabah, Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species - Wood Properties and Utilization, Penang, Malaysia, 16-18 March 1998.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Be carreffull budy with number he he

SAIFUDIN ANSORI mengatakan...

Thanks for comment..

Unknown mengatakan...

I want every number to be included in the table so that it's easier to understand and more detailed. Also sir, thanks sir🙏🏻