02 Desember 2007

MEMAHAMI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM

Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Apa itu Pemanasan Global?

Pemanasan Global adalah proses kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Ada petunjuk hal itu terjadi akibat peningkatan jumlah emisi (buangan) Gas Rumah Kaca (GRK) di udara.

Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6°C pada abad ke-20 dibandingkan suhu pada tahun 1750, saat awal proses industrialisasi. Angka 0,6°C nampaknya merupakan perubahan yang kecil. Namun perubahan kecil itu mulai menimbulkan dampak yang merugikan bagi kehidupan kita.

Apa Penyebab Pemanasan Global ?

Pemanasan Global terjadi karena peningkatan jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di lapisan udara dekat permukaan bumi (atmosfer). Gas tersebut memperangkap panas dari matahari sehingga menyebabkan suhu bumi semakin panas dan akhirnya lebih panas daripada suhu normal.

Apa Itu Gas Rumah Kaca (GRK)?

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas di udara di atas lapisan permukaan bumi (atmosfer) yang memungkinkan sebagian panas dari matahari ditahan di atas permukaan bumi. Secara alami gas-gas rumah kaca ini juga memancarkan kembali panas matahari agar tidak semuanya diserap bumi tetapi juga agar sebagian diserap bumi. Dengan demikian gas rumah kaca membuat suhu di bumi pada titik yang layak huni bagi makhluk hidup. GRK secara alami juga menjaga agar iklim menjadi stabil.

Namun meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca akan menyebabkan pemanasan global. GRK terdiri dari beberapa unsur, di antaranya :

• Karbondioksida (CO2), dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara) untuk mendapatkan energi, selain kebakaran hutan dan lahan.

• Nitroksida (N2O), dihasilkan dari penggunaan pupuk kimia pada pertanian.

• Metana (CH4), dihasilkan dari pembusukan sampah yang tidak dikelola dengan baik, sawah tergenang, ternak dan gas daerah rawa.

Mengapa Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat?

Emisi GRK berasal dari kegiatan manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan gas alam). Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi untuk listrik, transportasi, dan industri akan menghasilkan karbondioksida dan gas rumah kaca lain yang dibuang ke udara.

Proses ini meningkatkan efek rumah kaca. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil menyumbang 2/3 dari total emisi yang dikeluarkan ke udara. Sedangkan 1/3 lainnya dihasilkan kegiatan manusia dari sektor kehutanan, pertanian, dan sampah.

Pada tahun 2000, buangan total di atmosfer mencapai 42 miliar ton (gigaton) setara karbondioksida. Satu liter bensin mengeluarkan buangan 2,4 kg setara CO2. Jadi Pada tahun 2000 dapat dikatakan dunia membakar 17,5 miliar liter bensin yang setara dengan 437,5 mobil berkapasitas 40 liter. Jika dibandingkan dengan jarak tempuh, jumlah bensin yang sudah dibakar dapat digunakan untuk menempuh perjalanan mobil sepanjang 157,5 miliar kilometer per tahun atau 431,5 juta kilometer setiap harinya.

Siapa Penghasil Emisi terbesar?

Negara-negara maju adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Menurut data dari PBB, urutan beberapa negara penghasil emisi karbondioksida per kepala per tahun sebagai berikut:

- Amerika Serikat 20 ton

- Kanada dan Australia 18 ton

- Jepang dan Jerman 10 ton

- China 3 ton

- India 1 ton

Kebakaran hutan dan lahan juga melepaskan karbondioksida dalam jumlah cukup besar, seperti yang terjadi di Indonesia. Hampir setiap tahun, terutama bila kebakaran sangat luas terjadi seperti pada tahun 1997, Indonesia melepaskan karbondioksida dalam jumlah besar.

Buangan dari sektor energi di negara berkembang jauh lebih kecil daripada di negara maju. Tetapi bila digabungkan dengan sektor non energi (perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan), maka angka buangan di negara berkembang juga cenderung tinggi walaupun tetap tidak setinggi di negara maju. Angka untuk sektor non energi masih jadi perdebatan. Indonesia misalnya, memang menyumbangkan emisi yang cukup tinggi saat terjadi kebakaran hutan, tapi emisi ini terjadi secara musiman dan perhitungannya belum bisa dipastikan. Walaupun demikian, kebakaran hutan dan lahan tetap harus dicegah demi menjaga kelestarian ekosistem dan mencegah pencemaran udara untuk kepentingan masyarakat Indonesia sendiri.

Apa itu Perubahan Iklim?

Perubahan Iklim adalah perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu yang relatif panjang (sekitar 30 tahunan). Ini bisa terjadi karena efek alami. Namun, saat ini yang terjadi adalah perubahan iklim akibat kegiatan manusia. Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi parameter iklim lainnya. Perubahan iklim mencakup perubahan dalam tekanan udara, arah dan kecepatan angin, dan curah hujan.

Apa hubungan antara Pemanasan Global dan Perubahan Iklim?

Pemanasan global pada dasarnya adalah peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan bumi. Di sisi lain, iklim sangat dipengaruhi oleh berbagai parameter iklim seperti kecepatan dan arah angin yang sangat dipengaruhi oleh tekanan udara dan suhu udara, selain kelembaban udara dan curah hujan yang dipengaruhi oleh radiasi matahari. Dengan terjadinya pemanasan global, berbagai parameter iklim akan terganggu sehingga secara jangka panjang iklim akan mengalami perubahan yang bersifat permanen.

BAGIAN I
Mengapa harus ada peraturan internasional tentang perubahan iklim?

Dalam Lembar Informasi No. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal” telah dijelaskan bahwa peningkatan suhu dunia harus dibatasi 2ºC agar kehidupan di bumi tetap dapat berlanjut. Jika negara-negara penghasil gas rumah kaca tidak diikat peraturan internasional, maka konsentrasi gas rumah kaca di lapisan udara bumi akan meningkat sehingga diperkirakan suhu bumi juga akan naik menjadi 5ºC.

Kapan dunia internasional mulai membahas perubahan iklim?

Dunia mulai membahas perubahan iklim tahun 1979 pada Konferensi Iklim Dunia Pertama yang diadakan Badan Meteorologi Dunia (WMO – World Meteorological Organization). Ketika itu bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh kegiatan manusia terhadap sistem iklim mulai terlihat.

Pada 1985, WMO bersama Program Lingkungan PBB (UNEP - United Nations Environment Programme) mengadakan pertemuan di Austria untuk melihat dampak karbondioksida dan gas rumah kaca lain terhadap iklim. Pertemuan ini kemudian menyimpulkan bahwa ”meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dipercaya akan menaikkan suhu bumi melebihi peningkatan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia”.

Kemudian dalam pertemuan Badan Pengurus WMO (WMO Executive Council) ke-40 dibentuklah Panel Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change) yang bertugas melakukan identifikasi dan pendalaman pengetahuan mengenai perubahan iklim serta dampaknya.

Apa itu IPCC?

IPCC adalah sebuah panel antar-pemerintah yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia. Tugasnya menyediakan data-data ilmiah terkini yang menyeluruh, tidak berpihak dan transparan mengenai informasi teknis, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. Termasuk informasi mengenai sumber penyebab perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan serta strategi yang perlu dilakukan dalam hal pengurangan emisi, pencegahan, dan adaptasi.

IPCC bersekretariat di Jenewa (Swiss) dan bertemu satu tahun sekali di sebuah rapat pleno yang membahas tiga hal utama: (1) informasi ilmiah mengenai perubahan iklim; (2) dampak, adaptasi dan kerentanan; (3) mitigasi perubahan iklim.

Apa hasil IPCC?

Pada 1990, IPCC menerbitkan hasil penelitian yang pertama (First Assessment Report). Laporan tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim dipastikan merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan manusia. IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim, mengingat hal tersebut merupakan sebuah proses global yang berdampak pada seluruh dunia.

Majelis umum PBB menanggapi seruan IPCC dengan secara resmi membentuk sebuah badan negosiasi antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk merundingkan sebuah konvensi mengenai perubahan iklim.

Laporan IPCC terakhir tahun 2007 secara garis besar terdiri dari :

• Laporan Kelompok Kerja I dikeluarkan pada Februari 2007, menekankan bahwa manusia adalah penyebab utama peningkatan gas rumah kaca (GRK) di lapisan udara.

• Laporan Kelompok Kerja II mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim dikeluarkan awal April 2007, membeberkan perkiraan ancaman bencana di banyak negara apabila tidak dilakukan upaya segera untuk mengurangi kegiatan yang dapat menyebabkan pemanasan global.

• Laporan Kelompok Kerja III yang dikeluarkan Mei 2007 menganalisis proses pengurangan emisi karbon yang sudah dan harus dilakukan, dan strategi adaptasi untuk bertahan terhadap dampak perubahan iklim yang tidak bisa dihindari.

Apakah Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC?

Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC - United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan internasional tentang penanganan perubahan iklim. Kesepakatan yang biasa disebut Konvensi Perubahan Iklim ditetapkan pada 1992 sebagai salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini terdiri dari 26 pasal dan dua lampiran atau Annex.

Apa tujuan Konvensi Perubahan Iklim?

Tujuan UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2).

Apa prinsip yang mendasari Konvensi Perubahan Iklim?

Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim mencantumkan prinsip-prinsip dasar, yaitu:

1. Kesetaraan (Equity)

Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.

2. Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities)

Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab paling besar dalam menangani perubahan iklim.

3. Tindakan kehati-hatian (Precautionary measure)

Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah dampak pemanasan global lebih lanjut.

4. Pembangunan berkelanjutan

Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan, namun dapat digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”. Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Apa itu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I?

Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I.

Negara Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an, yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris, Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani.

Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I, yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Indonesia termasuk dalam negara Non-Annex I.

Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).

BAGIAN II

Kapan Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku?

Konvensi Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi 50 negara. Hingga Agustus 2007 Konvensi tersebut telah diratifikasi 195 negara dan Masyarakat Uni Eropa (European Union Community). Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.

Bagaimana cara kerja Konvensi Perubahan Iklim?

Untuk menjalankan kegiatan, UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (COP — Conference of the Parties) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun, atau ketika dibutuhkan.

Fungsi dari Pertemuan Para Pihak adalah:

– Mengkaji pelaksanaan Konvensi

– Memantau pelaksanaan kewajiban para Pihak sesuai tujuan Konvensi

– Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi

– Membuat rekomendasi kepada Para Pihak

– Mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu

Selain itu, dibentuk dua badan pendukung yaitu Badan Pendukung untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan Pendukung untuk Pelaksanaan (SBI - Subsidiary Body for Implementation). Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua kali setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

Apa itu Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara maju, secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada Konferensi Para Pihak Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada Desember 1997.

Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Jadi protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012.

Apa perbedaan Protokol Kyoto dengan Konvensi Perubahan Iklim?

Konvensi adalah seperti Undang-undang dan Protokol adalah penjabaran langkah-langkah lebih rinci dan spesifik untuk mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah. Jadi Protokol Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan di dalamnya.

Apa yang diatur Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang diatur protokol yaitu : karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan limbah.

Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan lebih ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.

Apa saja Mekanisme Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi yang ramah iklim dsb. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation);

Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi.

2. Perdagangan Emisi (Emission Trading);

Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi tetap memenuhi kewajibannya.

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism—CDM)

Pasal 12 Protokol Kyoto menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan membantu negara Annex I mencapai target pengurangan emisi dan negara Non-Annex I dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara Annex I melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang berpotensi mengurangi emisi dan/atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya akan dihitung sebagai pengurangan emisi di negara Annex I yang melakukan investasi tersebut. Mekanisme ini melibatkan berbagai persyaratan dan diawasi oleh sebuah badan operasional (Executive Board) yang ditunjuk COP. Dalam pelaksanaannya CDM adalah murni bisnis jual beli emisi.

Ketiga mekanisme fleksibilitas ini mengutamakan cara-cara yang paling murah dan mudah untuk mengurangi emisi GRK. Dalam kenyataannya, justru mekanisme ini yang berjalan, sementara komitmen untuk pengurangan emisi di tingkat nasional negara Annex I tersendat-sendat.

Kapan Protokol Kyoto mulai berlaku?

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:

1. Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim.

2. Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum 55% dari total emisi mereka pada 1990.

Pada 23 Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%. Ini berarti semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.

BAGIAN III

Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim

Sebelumnya:

Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim (Bagian Pertama)

Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim (Bagian Kedua)

Kenapa Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto?

Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” karena usulan mekanisme fleksibilitas terutama tentang perdagangan emisi justru berasal dai AS.

Apakah Protokol Kyoto bisa memenuhi target?

Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena jumlah negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat di dalamnya baru mencapai 43%. Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992.

Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya adalah bagian dari tawar-menawar yang lebih luas antara negara-negara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994). Mekanisme fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak melaksanakan langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru menggunakan instrumen pasar dan membuat persoalan penting ini menjadi komoditi di pasar internasional.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah meratifikasi kedua kesepakatan iklim melalui Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang No. 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Setelah meratifikasi, Pemerintah Indonesia kemudian menyusun Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Tetapi seperti banyak UU lain di Indonesia, pelaksanaan kedua UU ini juga lemah.

Ada apa di Bali Desember 2007?

Bali menjadi tempat Konferensi Para Pihak atau COP 13 UNFCCC dan pertemuan para pihak atau Meeting of the Parties (MOP) ke 3 Protokol Kyoto (disingkat COP13/CMP3). Konferensi ini amat penting karena diharapkan menghasilkan semacam Bali Mandate yang menjadi pedoman bagi pembahasan mengenai pengurangan emisi GRK di masa mendatang karena kesepakatan pengurangan emisi periode pertama dalam Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012. Dunia mengharapkan para pemimpin negara-negara akan menyepakati butir-butir perundingan yang menjadi landasan bagi perundingan kesepakatan pengurangan emisi di masa datang. Hal ini diperlukan demi keselamatan bumi dan seluruh isinya. Karena itu Bali akan menjadi sorotan dunia pada Desember 2007 ini.

Isu penting lain yang akan dibahas di Bali?

Walaupun kesepakatan pasca 2012 dianggap sebagai yang terpenting, COP13/CMP3 di Bali akan membahas banyak isu penting lain, di antaranya:

1. Dana dan Pelaksanaan Program Adaptasi Perubahan Iklim

Negara berkembang perlu melaksanakan program adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan bencana seperti badai tropis, banjir, kekeringan, longsor, abrasi, erosi, dan gangguan kesehatan akibat perubahan iklim. Program tersebut memerlukan dana, sementara negara berkembang juga masih dalam proses melaksanakan pembangunan. Karena itu, perlu dirundingkan penyediaan dana tambahan oleh negara maju serta mekanisme yang adil untuk mengakses dana tersebut.

2. Pengurangan Emisi dari Kerusakan Hutan di Negara Berkembang/Reducing Emission from Deforestation in Developing Country (REDD)

Selama ini, upaya pelestarian hutan tidak diperhitungkan sebagai upaya mengurangi emisi, tetapi perusakan hutan, terutama melalui kebakaran, dihitung sebagai peningkatan emisi. Karena itu diperlukan pengaturan yang lebih adil bagi negara-negara yang kaya hutan dalam memperhitungkan sumberdaya hutan sebagai aset untuk mitigasi emisi GRK.

Beberapa hal penting adalah:

a. Memasukkan AD (Avoided Deforestation atau pencegahan kerusakan hutan) agar dipertimbangkan sebagai program pengurangan emisi.

b. Mekanisme pendanaan oleh pasar (dibiayai oleh swasta) dan non-pasar (dibiayai pemerintah) c. Pengelolaan Hutan Berkelanjutan/Sustainable Forest Management (SFM) baik pada hutan buatan maupun hutan alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi agar diperhitungkan sebagai program pengurangan emisi.

3. Transfer Teknologi

Negara maju berkewajiban melaksanakan alih teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang sesuai ketentuan dalam kedua kesepakatan iklim ini. Namun hal itu belum diwujudkan sama sekali. Bila negara berkembang diminta berpartisipasi dalam pengurangan emisi GRK, maka salah satu alat penting adalah teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar di negara maju. Tanpa alih teknologi negara berkembang akan kesulitan melaksanakan kewajibannya sesuai kesepakatan iklim.

Mengapa kita perlu memahami kesepakatan mengenai perubahan iklim?

Dampak perubahan iklim akan mempunyai pengaruh pada kehidupan kita sehari-hari. Pada Lembar Informasi No.1 disebutkan bahwa masyarakat yang paling miskin, yang tidak menyumbangkan pada GRK secara berarti, justru yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kesepakatan perubahan iklim dirundingkan oleh para pejabat pemerintah mewakili negara dalam kerangka PBB. Sebagai warga negara kita berhak mengetahui apa yang dirundingkan dan bahkan memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan posisi yang mementingkan kepentingan nasional dan rakyat. Apabila tidak, maka dikhawatirkan kesepakatan yang diambil pemerintah justru merugikan kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, saat ini beberapa mekanisme baru diusulkan dalam upaya menurunkan GRK misalnya melalui penyerapan karbon oleh hutan (carbon sinks). Namun usulan ini ditentang aktivis lingkungan dan masyarakat adat karena dikhawatirkan merupakan upaya pengambilalihan sumberdaya masyarakat adat dan lokal. Seperti dicetuskan peserta Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim Pertama (The First International Forum Of Indigenous Peoples on Climate Change) menyatakan bahwa “sinks (penyerapan) mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambilalihan tanah-tanah dan hutan-hutan kami.”

Masyarakat berhak mengetahui mekanisme apa yang akan disepakati dan memastikan bahwa pemerintah menyepakati mekanisme baru penurunan emisi karbon yang lebih adil. Yang lebih penting, mekanisme baru tersebut harus mampu menjawab permasalahan dasar dari perubahan iklim ini yakni kerakusan negara maju dalam mengkonsumsi energi dan sumber daya alam. (Disadur dari berbagai sumber)

TIDAK RASIONALKAH MANAJEMEN HUTAN KITA?

Pertanyaan ini pasti muncul, ketika membaca tema seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM pertengahan November 2007 yang lalu. Tema seminar itu adalah RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA. Tidak rasional kah pengurusan hutan kita selama ini?

Bagi penyelenggara seminar, pasti akan jawab, “Ya!” Bagi pelaku utamanya, yakni pemerintah, bisa Ya, bisa Tidak. Itu, tentu saja, setelah melihat perkembangan (dinamika) pembangunan (?) hutan kita sejauh ini. Dalam kurung tanda tanya, maksud saya adalah bahwa apakah selama ini kita melakukan pembangunan atau perusakan hutan? Kalau pembangunan, kok data degradasi lahan mencapai 2,5 juta ha/tahun? Kalau perusakan, kok ternyata masih banyak manajer-manajer di setiap kawasan atau daerah? Masih lengkap ada Menterinya, Dirjennya, Kepala Dinasnya sampai lembaga-lembaga pendukungnya, seperti Puslitbang, Balit, BPDAS, bahkan lembaga ilmiah seperti Fakultas Kehutanan masih “memproduksi” terus calon-calon rimbawan, yang tentu saja, fakultas itu mengharapkan alumninya bisa dan mampu membangun hutan kita ini.

Itulah memang, penyelenggara, yaitu Fakultas Kehutanan UGM memandang perlu bahwa kita harus segera mereformasi (kalau tidak boleh memakai kata revolusi) pengurusan hutan kita. Selama ini Pemerintah yang hanya lebih banyak berperan sebagai Regulator, sudah saatnya sekarang untuk action di lapangan, betul-betul mengurusi hutan. “Membumi,” kata orang.

Contoh tidak Rasional

Informasi dasar, yaitu luasan hutan kita yang sesungguhnya, belum diketahui secara pasti, bahkan oleh Pemerintah sendiri. Ini contoh real. Bagaimana kita bisa mengurusnya, kalau luasnya saja tidak tahu benar. Ya, tentu saja, oleh karena memang hutan kita luas (beberapa data menyebut lebih dari 100 juta hektar. Bandingkan dengan Jepang yang hanya 25 juta hektar). Kita perlu waktu dan teknologi untuk mengetahui ukuran yang pasti. Belum lagi, tumpang tindih penggunaanya antara kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, misalnya. Itulah, mengapa, barangkali panitia mengajak kepada peserta seminar (kemudian memberikan masukan kepada menteri Kehutanan) untuk merestrukturisasi manajemen hutan, yang mengakomodir berbagai kepentingan, yang lebih holistik, komprehensif dan pro terhadap rakyat. Pro poor, istilah kerennya.

Contoh tidak rasional yang lain, adalah bahwa selama ini devisa (masukan) bagi Negara berasal dari hutan, selalu hanya dikaitkan dengan jatah tebangan (artinya kayu). Padahal, di dalam hutan itu tersimpan berbagai sumberdaya, yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia, mulai dari produksi Oksigen, penyerapan karbon (mengurangi global warming), penyimpan air, plasma nuthfah, berbagai flora dan fauna yang bermanfaat bagi kita dan sebagainya. Sungguh pun telah ditetapkan kawasan hutan sesuai dengan peruntukannya, seperti kawasan produksi, kawasan konservasi, kawasan lindung dsb, tetapi ternyata banyak terkonversi oleh pihak-pihak yang boleh kita bilang tidak bertanggungjawab. Itulah penyebabnya, yang kemudian membuat hutan kita terdegradasi.

Masih ada contoh lagi. Di DIY hanya terdapat kawasan hutan seluas sekitar 15.000 ha saja. Itu pun, banyaklah hutan bukan produksi. Pegawai negeri (di bawah Dinas Kehutanan) yang terlibat disana, sekitar 500 orang. Itu, artinya setiap 30 ha, diurus oleh 1 orang. Di perusahaan swasta, contoh di sebuah HTI Sumatera Selatan, hutan seluas 20.000 ha, hanya cukup dikelola oleh sekitar 60 orang. Lebih Rasional yang mana, antara di Dinas kehutanan DIY atau di perusahaan swasta di Sumatera Selatan?

Masih ada contoh irrasional yang lain. Misalnya, adakah kantor Dinas Kehutanan, atau katakanlah Lembaga Penelitian Kehutanan, yang berada di tengah hutan di Negara kita ini? Bagaimana hati pengelola dan karyawannya tertambat di hutan, jika kantornya saja di dekat mall dan stadion? Contoh lain.. Ketika kita tahu bahwa ada kasus illegal logging (dari berita Koran dan Televisi), dan disitanya kayu oleh aparat dan Polhut, kejadiannya sudah berada di laut! Bisa ditebak kan, kalau memang pengamanan kurang dilakukan di hutan, dimana pepohonan masih tegak berdiri? Sungguh pun kasus illegal logging terungkap, tetapi tegakan pohon telah tumbang dan lahan sudah menggundul. Masih banyak contoh-contoh bentuk dan temuan pengurusan hutan yang irrasional.

Akhirnya, kita berharap, mulai 2008 ini ada gerakan yang reformis (kalau perlu revolusioner) dari pemerintah, yang mampu membangun kembali hutan kita dan bukan sebaliknya. Kita tunggu bentukan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang menjadi rekomendasi Fakultas Kehutanan UGM bagi hutan yang lestari di masa-masa mendatang. (Saifudin Ansori)

01 Desember 2007

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA

RUMUSAN FINAL SEMINAR NASIONAL
RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA
Implementasi Jangka Benah Hutan Indonesia 2045


Memperhatikan pidato dies natalis yang disampaikan Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon, serta paparan Dr. Ir. Sofyan P. Warsito dan Dr. Ir. San Afri Awang dan masukan dari sidang paralel yang terbagi menjadi 4 klater, maka diperoleh rumusan sebagai berikut:
  1. Dalam rangka mewujudkan pengurusan hutan nasional menuju hutan lestari dan masyarakat sejahtera, maka diharuskan pembentukan KPH.
  2. KPH sebagai strategi utama pengukuhan kawasan hutan menjadi kawasan hutan permanen, yang pembentukannya didasarkan pada kesatuan DAS dan atau ekosistem.
  3. Kelembagaan KPH harus sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan, dengan kerangka pendekatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan pemerintah Propinsi, Pemerintah kabupaten/Kota, dan Departemen lain, serta institusi masyarakat terkait.
  4. KPH diarahkan menjadi Badan Usaha Kehutanan yang dapat mendanai secara langsung program dan kegiatannya dari hasil usahanya.
  5. Perlu dipikirkan skim badan usaha KPH dalam bentuk Hak Guna Usaha kehutanan (HGUK).
  6. Pembentukan KPH perlu segera dideklarasikan secara nasional oleh Menteri kehutanan paling lambat akhir tahun 2008.
  7. Sebagai konsekuensinya, maka KPH harus segera diisi dengan personil rimbawan profesional yang didukung dengan alokasi pendanaan yang cukup untuk menjalankan program dan kegiatan KPH.
  8. Civitas Fakultas kehutanan UGM dan seluruh alumni mendukung dan siap mensukseskan program pembangunan KPH.
  9. Sebagai wujud dukungan kebijakan “Pro Poor”, maka diusulkan agar pemerintah mengalokasikan 15% dari wilayah hutan Indonesia untuk skim pemberdayaan masyarakat.
  10. Seluruh aktivitas pengelolaan dalam kawasan hutan termasuk didalamnya HTR, HKm, Hutan Adat dan lainnya berada dalam wilayah pemangkuan KPH.

Yogyakarta, 18 November 2007

Ditandatangani Oleh,
1. Ketua KAGAMAHUT (Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.)
2. Ketua Panitia Dies dan Reuni (Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc.)
3. Dekan Fak. Kehutanan UGM (Prof. Dr. Ir. Moch. Na’iem, M.Agr. Sc.)