23 April 2008

Indonesia Bawa Isu Illegal Loging Sebagai Kejahatan Internasional

London-RoL-- Indonesia berhasil membawa masalah atau isu isu baru dalam sidang ke 17 PBB untuk Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana PBB (Commission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ) dalam akhir sidang yang diadakan di Gedung PBB di Wina, Austria, pekan silam.

Sejak dua tahun terakhir ini Indonesia berhasil membawa dan mengajukan isu baru yang secara internasional diterima sebagai kejahatan internasional yaitu pencurian kayu hutan yang dikenal dengan illegal loging.

Hal itu disampaikan Duta Besar RI untuk Republik Austria merangkap Republik Slovenia, dan Badan PBB lainnya UNIDO, IAEA, UNOV, CTBTO, OPEC, Triyono Wibowo dalam wawancara khusus dengan Koresponden LKBN Antara London, di Wina akhir pekan yang didampingin Darianto Harsono, First Secretary Information and Public Diplomacy KBRI Wina.

Menurut Tryono Wibowo, pencurian kayu hutan yang dikenal dengan illegal loging yang merupakan suatu kejahatan diakui oleh seluruh anggota sidang yang harus diatasi di tingkat masing masing negara.

Namun diakui sebagai suatu kejahatan internasional yang harus ditangani secara bersama baru pertama kalinya oleh Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana PBB, ketika Indonesia mengajukan satu rancangan yang didukung banyak negara sebagai suatu resolusi, ujar Tryono Wibowo.

Menurut Dubes, Direktur Eksekutif Kantor PBB di Wina, Antonio Maria Costa pun dalam pembukaan sidang mengakui bahwa pencurian kayu hutan/illegal loging itu adalah suatu kejahatan yang nyata yang diakui secara internasional, meskipun secara nasional sudah sejak lama.

Lalu lintas (Trafficking) antar negara terhadap produk produk hutan seperti kayu, wild life serta produk hutan lainnya yang disebutkan sebagai suatu kejahatan internasional baru diakui pada tahun lalu, ujarnya.

Tryono Wibowo mengatakan, resolusi yang diajukan Indonesia itu sepenuhnya didukung oleh berbagai negara besar dunia seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, serta negara berkembang seperti Argentina, Afganistan, Iran, Guatemala dan Philipina.

Dalam resolusi Indonesia berhasil menyatakan lalu lintas (Trafficking) produk produk hutan termasuk ilegal loging sebagai suatu kejahatan internasional dan KBRI Wina juga berhasil membuat negara anggota memberikan komitmennya di tingkat nasional dan memperbaiki sistem hukumnya guna memberantas praktek ilegal loging.

Selain itu, ujar Tryono Wibowo, Indonesia juga mengharapkan adanya komitmen negara anggota untuk bekerjasama baik secara bilateral, regional dan internasional bersama sama memberantas dan mencegah terjadinya praktek praktek ilegal loging.

Ada tiga hal yang pertama adanya pengakuan sebagai suatu kejahatan internasional, kedua komitmen ditingkat nasional dan ketiga komitmen ditingkat bilateral, ujarnya.

Komitmen

Dubes Tryono Wibowo mengatakan, tahun ini ia mempunyai tugas untuk minta komitmen dengan cara mereka memberikan laporan mengenai apa yang telah dilakukan dan selanjutnya membuat langkah, untuk itu ia masih menunggu gambaran yang jelas apa yang telah dilakukan masing masing negara.

Diharapkan tahun depan Indonesia sudah dapat mengajukan satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut dan Indonesia juga tidak perlu ragu ragu untuk menyampaikan kepada negara tetangga bahwa ilegal loging terjadi karena beberapa pihak disekitar tetangga menfasilitasi dan bahkan menjadi pelaku praktek praktek ilegal loging.


"Saya ingin negara tetangga Indonesia memberikan laporannya, ujarnya apalagi nantinya resolusi ini akan dibawa dan dibahas dalam sidang PBB Konvensi Menentang Organisasi Kejahatan Transnasional (UN Convention against Transnational Organized Crime (UNATOC)."

Diharapkannya Indonesia dapat membawa masalah ilegal loging ini sebagai suatu kejahatan internasional dalam sidang meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut, namun Indonesia dapat berpartisipasi aktif membawa masalah ilegal loging ini dalam sidang UNATOC.

Mulai dari sekarang kita harus siap siap, karena pada tahun 2006, Indonesia gagal mengajukan masalah tersebut, karena satu negara yaitu Brazil menentang. "Saya sempat merasa kecewa waktu itu, tapi saya berusaha selama setahun akhirnya Indonesia berhasil mengeluarkan Resolusi no 16/1 itu," demikian Tryono Wibowo. ant/ (Republika, 23 April 2008).

Dephut Setujui HTR Seluas 82.000 Hektar

Jambi-RoL-- Departemen Kehutanan (Dephut) menyetujui usulan Provinsi Jambi membebaskan lahan seluas 82.000 hektar untuk membangun hutan tanaman rakyat (HTR).

Lahan 82.000 hektar itu berada di lima kabupaten yakni Tebo, Batanghari, Muarojambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, kata Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin setelah membuka sosialisasi implementasi kebijakan HTR di Jambi, Selasa. Sosialisasi itu digelar Pemprov Jambi bekerjasama dengan proyek Uni Eropa-Indonesia (EC Indonesia Flegt Support Project) Jambi.

HTR seluas 82.000 hektar dikeluarkan dari lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola PT Wira Karya Sakti (WKS) dan 41.000 ha diperoleh dari eks HPH yang telah gundul atau rusak. Pengelolaan HTR untuk reboisasi itu nanti diserahkan kepada petani atau warga sekitar di bawah wadah Perhimpunan Petani Jambi (PPJ).

Tanaman penghijauan diarahkan ke tanaman jelutung yang bisa menghasilkan getah untuk kebutuhan industri. Sebelum panen getah jelutung 8-10 tahun mendatang petani akan diberi modal usaha pengembangan sektor pertanian dan peternakan.

Untuk membiayai hidup petani sebelum panen getah jelutung, Pemprov Jambi pada 2008 mengusulkan dana senilai Rp 5 miliar, serta masing-masing bantuan Rp 5 miliar dari lima kabupaten tersebut, dan Rp 5 miliar bantuan PT WKS.

Setiap petani nanti akan diberikan masing-masing dua hektar mengelola HTR dengan menanam jelutung. Dari hasil analisis pada masa panen nanti petani bisa menghasilkan Rp 3,5 juta per bulan dari penjualan getah jelutung. Mengenai bibit jelutung kini sudah tidak ada masalah, karena bibit sudah disiapkan di lahan penangkar PPJ, jika kurang akan didatangkan dari Papua, karena kebutuhan bibit jelutung itu mencapai 4,6 juta batang.

Menyinggung tentang pembalakan liar (ilegal logging) di Jambi, Zulkifli mengakui dalam dua tahun terakhir ini terjadi penurunan cukup signifikan, karena penegakan hukum terhadap para pelaku terus ditingkatkan. "Saya juga telah meminta kepada masyarakat sekecil apapun tanaman kayu di hutan jangan ditebang, karena hutan di Jambi sudah banyak yang rusak akibat pembalakan liar selama ini," kata Gubernur Jambi. antara/mim. (Republika, 22 April 2008).

21 April 2008

Refleksi Hari Bumi, 22 April (PP 2/2008 dalam perspektif fikih kehutanan)

Persoalan lingkungan, terutama problem kehutanan di Tanah Air merupakan problem yang sangat krusial bagi bangsa ini. Menurut catatan Walhi, Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa, namun dalam catatan Greenpeace, Indonesia termasuk negara yang memiliki rekor terbanyak melakukan kerusakan hutan di muka bumi ini, baik legal logging yang berlebihan (over cutting) maupun illegal logging yang tak terkendali bahkan sering kali dibekingi.

Akibatnya, dalam catatan World Resource Institute, 72% hutan asli kita menjadi lenyap dengan menyisakan kerusakan ekologi yang sangat merugikan. Sementara pelaku pembalakan dengan tenang berkeliaran, tanpa banyak dilakukan proses hukum yang maksimal oleh aparat yang berwenang.

Belum lagi permasalahan tersebut dituntaskan, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.

PP ini dipandang oleh berbagai kalangan terutama pemerhati lingkungan, sebagai satu kemunduran kebijakan. Mereka memandang bahwa kebijakan ini sangat pro kapitalis terutama kapitalis asing, karena memberikan peluang yang begitu mudah dan murah (hanya Rp 300/m2) bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menggunakan lahan-lahan hutan sebagai area produksi dan pertambangan tanpa memperhatikan aspek ekologi selama dan pascapemakaian hutan. Bahkan saking murahnya, puluhan aktivis lingkungan iuran untuk bisa ikut menyewa hutan. Ini dilakukan sebagai kritik terhadap kebijakan yang tidak merakyat.

Dalam pemikiran keislaman kontemporer (fikrah al-islamiy al-‘ashriy), persoalan lingkungan dibahas dalam fikih lingkungan (fiqh al-biah). Isu hutan merupakan bagian dari fikih lingkungan, namun penulis cenderung menyebutnya sebagai fikih kehutanan atau fiqh al-ghabat.

Secara fundamental, Islam dalam sumber utamanya yakni Alquran telah mengingatkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi (Al-Baqarah:30). Tugas khalifah adalah memelihara seluruh isi bumi, terutama sumberdaya alamnya, termasuk hutan. Dalam fiqh al-ghabat, kepemilikan hutan berada di tangan umat atau masyarakat (al-milkiyah al-‘ammah) berdasarkan regulasi konstitusi yang disepakati.

Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibn Majah secara gamblang menyatakan bahwa kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api. Harganya (menjual-belikannya) adalah haram.

Hadis ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum yang tidak bisa dan tidak boleh diprivatisasi oleh negara terlebih pemerintah. Ditinjau dari metodologi hukum Islam (ilm ushul al-fiqh), ketiga unsur tersebut (air, padang rumput dan api) memiliki kesamaan alasan dalam penetapan hukum (illah al-hukm) yakni aset yang menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Sehingga bentuk kekayaan alam apapun yang itu menjadi hajat hidup orang banyak haram hukumnya untuk dikelola dan komersialkan secara sepihak tanpa memperhatikan kemaslahatan umum, termasuk hutan.

Dampak negatif
Hutan merupakan aset yang menjadi hajat hidup orang banyak baik secara ekologis maupun sosial-ekonomi, yang jika ini diprivatisasi atau dikomersialkan secara sepihak apalagi oleh orang asing, akan menimbulkan dampak-dampak negatif bagi kepentingan umum.

PP No 2 Tahun 2008, yang dikeluarkan pemerintah awal Ferbuari lalu, secara konten dan ”gelagat” kepentingan implementasinya berpotensi menimbulkan kerugian dan kemudaratan bagi kepentingan kehidupan masyarakat luas.

Secara ekonomi, masyarakat dirugikan dengan harga sewa pemakaian yang sangat murah dengan meniadakan kompensasi atas konservasi dan pemulihan hutan pascapenggunaan hutan. Hasil sewanya pun tidak ada jaminan kembali ke Negara, tapi ke kantong-kantong pribadi.

Secara ekologis, PP ini berpotensi merusak ekosistem dan fungsi hutan bagi ribuan makhluk Tuhan yang hidup di dalamnya. Ini akan berdampak pada kematian ribuan hewan dan punahnya ribuan jenis tumbuhan yang kemudian mengakibatkan berbagai bencana ikutan, seperti banjir, tanah longsor, meningkatnya suhu udara yang pada gilirannya merugikan kehidupan manusia.

Jika kerugian secara ekonomi dan ekologi terjadi, maka berikutnya bisa dipastikan akan terjadi benturan sosial secara horizontal di antara warga masyarakat, maupun terhadap perusahaan yang mengelola hutan, dan ini sangat merugikan dan mengancam jutaan nyawa manusia.

Dengan argumentasi ini, secara fiqh al-ghabat, PP ini harus dibatalkan, karena mengandung kemudaratan yang sangat merugikan. Rekomendasi ini sangat sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawaid al-fikihiyah) yang menyatakan bahwa segala bentuk kemudaratan atau hal yang membahayakan harus dihilangkan (ad-dhararu yuzal). Kaidah ini disandarkan secara kuat oleh nash, yakni Alquran yang memberikan peringatan keras agar manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya (Al-A’raf:56). Demikian juga dengan sabda Nabi, di mana jangan sampai kita mendatangkan bahaya atau jangan sampai kita membiarkan orang untuk bisa mendatangkan bahaya (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Islam mengajarkan seorang pemimpin untuk selalu menegakkan keadilan dan kemaslahatan bagi rakyatnya, termasuk persoalan lingkungan. Pemimpin berkewajiban untuk mengelola kekayaan alam untuk kemaslahatan dengan tanpa menegasikan kelestariannya.

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah, bahwa setiap kebijakan imam/pemimpin dalam mengatur rakyatnya haruslah berpatokan pada asas kemaslahatan.

Pada akhirnya, penulis berharap pemerintah segera membatalkan PP No 2 Tahun 2008 ini, serta berharap pemerintah lebih peduli terhadap persoalan lingkungan hidup dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis, pro rakyat dan maslahat. Jika ini tidak dilakukan, maka bisa jadi pemerintahan saat ini akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Wallahu a’lam bishawab. - Thalis Noor Cahyadi, Advokat, alumnus UIN Yogyakarta (Solopos, 22 April 2008).