25 September 2007

API, TANAH DAN TANAMAN

API, TANAH DAN TANAMAN

Bagi yang suka menonton lawak, akhir-akhir ini (waktu tulisan ini dibuat) pasti tidak melewatkan API. Apa hubungan lawak dengan API…? Ya, betul! API disini kependekan dari Audisi Pelawak TPI. Acara yang ditayangkan stasiun televisi swasta ini menyedot banyak pemirsa yang tidak kalah dengan AFI (banyak wong kito, maksudnya wong Plembang, mengucapkannya dengan API pulo), Akademi Fantasi Indonesia, acara kontes nyanyi yang disiarkan stasiun televisi swasta lainnya, yang juga menggema di se-antero Nusantara. Baiklah, kita lupakan dulu API dan AFI itu.

Kali ini, kita beralih pada bahaya dan resiko API. Api yang sesungguhnya, tentu…! Sudah menjadi tradisi kita, kalau mau memasuki bulan-bulan kering, apel pasukan Oranye mengawali siaga kita pada api. Ya, api tidak boleh menguasai kita, tetapi kita harus menguasainya.

Pada suatu forum pelatihan Manajemen HTI tingkat Madya di KM-10 Pendopo beberapa waktu yang lalu, saya berpendapat bahwa kita sepakat untuk mengatakan dan bersikap “no way!” pada api. Api yang disebabkan oleh kebakaran maupun pembakaran. Kebakaran terjadi tidak disengaja, tetapi kalau pembakaran, memang direncana. Dulu, kita pernah melakukan pembakaran pada kegiatan persiapan lahan, tetapi sekarang kita sadar, bahwa hal itu sangat KONTRA-PRODUKTIF terhadap tanaman alias ngefek negatif. Seberapa besar efek itu? Mari kita lihat…

Kebakaran dan Kerugian

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan pada acara apel Siaga Api di Unit XV Keruh tanggal 3 Mei 2005 lalu, dalam pidatonya yang dibacakan oleh Wakil Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, mengatakan dan mengingatkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia akhir-akhir ini telah mengakibatkan degradasi hutan mencapai 2,3 juta ha/tahun. Tak terbayangkan berapa kerugian finansial yang ditimbulkan dari nilai kayu di dalamnya, belum lagi nilai yang tak terhitung (intangible), seperti hilangnya habitat satwa dan flora, nilai hutan sebagai penghasil oksigen untuk kehidupan kita, sumbangannya terhadap lingkungan dan seterusnya.

Barangkali masih segar dalam ingatan, tahun 1994 dan 1997 merupakan tahun kelam bagi keghutanan kita (bahkan kehutanan Indonesia pada umumnya), kaitannya dengan kejadian kebakaran yang luar biasa. Kebakaran hutan ini, tidak saja berakibat pada hilangnya ribuan hektar tanaman kita, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti timbulnya penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan bagian atas) akibat dari asap yang ditimbulkan. Kerugian lain adalah kehilangan kesempatan untuk berbuat lebih banyak, selain menanggulangi kebakaran itu dan menanami kembali pada lahan eks kebakaran tersebut.

Mari kita hitung kerugian akibat kebakaran hutan kita... Taruh, sekitar 11.000 ha tanaman kita terbakar (dari 1994 hingga sekarang). Apabila tanaman dalam satu hektar mempunyai tegakan dengan volume rata-rata 75 m3 kayu, maka total kayu terbakar adalah 825.000 m3. Kalau tiap m3 kayu dihargai 15 dollar Amerika, maka nilai kayu yang terbakar mencapai lebih dari 115 milyar rupiah, dengan kurs saat ini. Uang sebesar itu, kira-kira sama dengan budget perusahaan untuk menggaji karyawan sejumlah 2247 selama 38 bulan! Kerugian yang lain, belum lagi dihitung, seperti biaya alat berat, bahan bakar dan tenaga kita saat siaga api dan pemadaman kebakaran.

Gambaran ini, baru sebagian kecil dari dampak negatif akibat kebakaran hutan. Begitu besarnya dampak negatif itu, sehingga kita selalu waspada dan bersikap no way! pada kebakaran hutan, sebagaimana semangat itu terlihat ketika kita melakukan apel Siaga Api. Dan… oleh karena itulah, barangkali mengapa orang tua kita sering berpesan, “Jangan bermain api!”

Api dan Tanah

Ada 3 faktor penyebab timbulnya kebakaran, yaitu adanya bahan yang mudah terbakar, energi panas cukup untuk menyalakan bahan bakar dan oksigen yang memadai. Dari ketiga faktor tersebut, akan timbul nyala api, yang intensitas, kecepatan menjalar dan sifat nyalanya sangat dipengaruhi oleh iklim, topografi, perubahan cuaca dan waktu.

Dr. Bambang Hero Sahardjo, pengajar di IPB Bogor, telah melakukan penelitian masalah kebakaran hutan Acacia mangium di Subanjeriji untuk disertasi Master dan Doktornya. Beliau mendapatkan bahwa bahan yang mudah terbakar di areal tanaman A. mangium cukup tinggi, berasal dari vegetasi atau tumbuhan bawah yang hidup diantara tanaman dan serasah di lantai hutan. Itu faktor bahan bakar. Kalau pada musim penghujan, bahan bakar ini sulit untuk terbakar, oleh karena energi panas dan oksigen tidak memadai. Bagaimana kalau musim kering atau kemarau? Perlu tanda warna merah di kalender kita; Siaga Api!

Kebakaran hutan pada tanaman A. mangium, menurut catatan Dr. Bambang Hero, mampu menimbulkan panas dengan temperatur hingga mencapai 454oC. Tingkat kepanasan hebat ini terjadi pada kejadian kebakaran hebat pula, yang terjadi pada tanaman dengan bahan bakar tinggi. Banyaknya bahan bakar, masih menurut beliau, disebabkan oleh minimnya atau terlambatnya perawatan tanaman. Perawatan tanaman tepat waktu dapat mengurangi bahan bakar, atau kalau terjadi kebakaran, hanya bagian lantai hutan saja yang mengalaminya (ground fire).

Kebakaran hutan, selain merugikan tanaman secara langsung, juga sangat berpengaruh terhadap kualitas tanah. Pengaruh ini, yaitu hilangnya bahan organik berupa serasah lantai hutan, vegetasi dan biomasa yang tumbuh diatasnya menjadi abu dan arang. Binatang-binatang tanah dan mikroorganisme yang hidup didalamnya pun turut mati.

Dampak kebakaran hutan terhadap tanah pada mulanya adalah naiknya pH tanah (menjadi lebih basa), beberapa kandungan unsur hara juga naik seperti P (fosfor)-tersedia dan basa-basa tersedia (K (kalium), Ca (kalsium), Na (natrium), Mg (magnesium)). Beberapa perubahan sifat kimia tanah ini memang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Tetapi dampak ini hanya berlangsung pada waktu yang tidak begitu lama (temporary effect). Unsur hara yang bersenyawa dan berbentuk gas dengan mudahnya dapat hilang (volatilisasi) ke udara, seperti C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen), N (nitrogen), dan S (belerang).

Adanya curah hujan tinggi di lokasi pertanaman kita, mengakibatkan abu bekas kebakaran pada lantai hutan dan kandungan basa-basa tanah tersebut dengan cepat dan mudah hilang terbawa oleh aliran permukaan (surface run off) dan erosi. Hilangnya serasah pada lantai hutan menambah tingginya aliran permukaan dan erosi ini.

Kebakaran juga berdampak negatif terhadap fisika tanah. Diantaranya adalah menurunnya permeabilitas tanah, menurunnya kemampuan mengikat atau menyimpan air, menurunnya berat jenis dan porositas tanah. Beberapa sifat ini sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah bagi tanaman.

Untuk mengembalikan sifat tanah terdegradasi oleh kebakaran ini menjadi seperti semula (sebelum terbakar), diperlukan waktu hingga ratusan tahun. Bahkan karakteristik tanah tertentu, seperti terbentuknya krokos atau gumpalan tanah padat karena terbakar, mempunyai sifat irreversible, sehingga tidak dapat diperbaiki lagi.

Api, Tanah dan Tanaman

Api berdampak negatif terhadap tanah, padahal di situlah tanaman ditumbuhkan. Tanah menyediakan hampir seluruh kebutuhan hara bagi tanaman, kecuali C, H, O dan N. Unsur-unsur ini banyak disumbang dari udara dan hujan (atmosfer), sungguh pun juga bisa didapat dan tersimpan di dalam tanah. Unsur hara saling berinteraksi antara satu dengan lainnya membentuk senyawa. Ketersediaan dan sifat senyawa ditentukan oleh sifat-sifat tanah. Bahkan tanah terbentuk dari berbagai senyawa itu. Dus, tidak ada yang lebih penting, sifat tanahnya atau ketersediaan haranya bagi tanaman. Semuanya penting dan saling mempengaruhi.

Tanah yang subur menyediakan makanan optimum bagi tanaman, sehingga akan menghasilkan produktivitas tinggi. Pada tanah kurang atau tidak subur, perlu ditambah (masukan) hara agar menjadi subur, seperti memberi pupuk. Jadi, kalau kita memupuk, sebenarnya adalah memupuk tanah, bukan memupuk tanaman. Tanaman mengambil hara tambahan dari pupuk melalui tanah.

Begitu pentingnya tanah dalam menyediakan kebutuhan “segalanya” bagi tanaman, maka ia perlu dijaga dari kerusakan, dan ditingkatkan kualitasnya, termasuk mencegah dari kebakaran.

Pada tanah-tanah bekas kebakaran, diperlukan penanganan tambahan apabila kita ingin mendapatkan hasil tanaman yang baik. Prinsipnya adalah membuat tanah cepat dalam proses dekomposisi dan perkembangannya. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan bahan organik. Dr. Bambang Hero menyarankan, agar memacu produksi serasah yang jatuh (litterfall) untuk menutupi lantai hutan dan menambah bahan organik tanah, diantaranya dengan penanaman menggunakan jarak tanam yang rapat.

Kebakaran pada hutan tanaman A. mangium yang telah menghasilkan buah, akan mengakibatkan biji -yang tersimpan dalam tanah- mengalami skarifikasi. Hal ini memicu biji untuk mengakhiri masa dormansinya, kemudian berkembang menjadi semai dan akhirnya tumbuh ke atas permukaan tanah. Jumlah anakan alam ini bisa mencapai lebih dari 2,5 juta anakan/ha. Pengalaman kita menunjukkan, kejadian ini akan mengakibatkan susahnya penanganan dalam perawatan tanaman.

Api berdampak negatif bagi tanah. Salah satunya adalah tanah menjadi tidak subur. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah tidak subur mempunyai produktivitas yang rendah. Untuk itu, pesan harian di musim kemarau, yang sering terdengar di telinga kita adalah, “JANGAN BIARKAN API MENGUASAI KITA!

Musim kemarau sebentar lagi tiba. Mars Rimbawan gemuruh di dada. Selamatkan hutan dari api bencana, hingga titik hujan membasahi kerongkongan kita.

Setelah musim hujan tiba, hati boleh lega. Bahaya api bisa dibilang tidak ada. Bagi penggemar lawak dan kontes nyanyi, silakan kembali nonton API dan AFI sepuas-puasnya. Hua ha ha..! (Saifudin Ansori)

Tidak ada komentar: