26 September 2007

WEED, WEEDING DAN TANAMAN

WEED, WEEDING DAN TANAMAN

Kata ‘weed’ mempunyai arti rumput liar. Dalam sistem budidaya tanaman, rumput liar yang tumbuh di lahan tanaman dinamakan gulma. Akhiran ing dalam kata weeding, menambah arti (dalam bahasa Indonesia), yaitu penyiangan atau pengendalian gulma. Gulma dimaksud adalah jenis tumbuhan bawah (tumbuhan muda) dan rumput (pendek di permukaan tanah maupun yang membelit) di sekitar tanaman pokok, selagi tanaman pokok tersebut masih muda.

Pengendalian gulma dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman pokok tidak terhambat atau tersaingi dalam memperoleh faktor yang mengoptimalkan pertumbuhan, seperti unsur hara, oleh tumbuhan liar. Disamping itu, penyiangan gulma dapat mengurangi kelembaban mikro di sekitar tanaman, sehingga mampu mengurangi berkembangnya hama dan jamur yang dapat merugikan tanaman pokok.

Beberapa silviculturist memakai istilah weed management (pengelolaan gulma) untuk menggantikan kata weeding.

Aktifitas weeding dalam silvikultur hutan tanaman, hanya dilakukan hingga tajuk (crown) tanaman menutup. Dalam pertanaman Acacia mangium, tanaman yang baik akan terjadi penutupan tajuk (pada jarak tanam 3 X 3 m) pada umur 2 tahun. Penutupan tajuk akan menghambat bahkan meniadakan pertumbuhan gulma. Sehingga, diharapkan tanaman berumur lebih dari 2 tahun tidak perlu dilakukan weeding. Selanjutnya, pada tanaman berumur lebih dari 2 tahun, sangat sedikit aktifitas berkaitan dengan tumbuhan bawah. Bahkan tumbuhan bawah ini diharapkan/dibiarkan tumbuh diantara tanaman pokok.

Tidak seperti pada tanaman pertanian atau perkebunan, weeding pada hutan tanaman tidak terlalu intensif dan “bersih”. Weeding pada hutan tanaman perlu dilakukan selagi tanaman masih muda, ketika tanaman tersebut beradaptasi dan membutuhkan hara untuk pertumbuhannya. Justru setelah tanaman mampu tumbuh (biasanya setelah 4 tahun), pada hutan tanaman diharapkan muncul tumbuhan lain disekitar tanaman, untuk tujuan biodiversitas. Hal ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan keaneka-ragaman hayati (konservasi) dan mampu mencegah timbulnya wabah hama dan penyakit yang disebabkan oleh sistem monokultur.

Dengan mempertahankan keanekaragaman tumbuhan didalam hutan tanaman tersebut, sebenarnya mampu menepis anggapan bahwa HTI yang monokultur (sering berkonotasi negatif), sebenarnya juga “bukan monokultur”. Oleh karenanya, dengan alasan inilah, sebagian silviculturist sering memakai istilah vegetation management.

Cara Pengendalian Gulma

Ada beberapa cara pengendalian gulma, yaitu secara manual, secara mekanik, dan secara kimiawi. Di Sumatera Selatan, telah dikenal pengendalian gulma secara manual dan secara kimiawi. Dalam satu daur, pengendalian gulma dilakukan intensif 3 bulan sekali hingga umur 1,5 tahun (tajuk tanaman telah menutup). Kalau kondisi lahan sudah banyak ditumbuhi gulma sebelum ditanam, perlu dilakukan weeding tebas atau kimiawi dengan penyemprotan herbisida, tergantung kondisi lahan.

Cara manual, biasanya dipakai alat parang. Sedangkan secara kimiawi dipakai larutan herbisida yang disemprotkan pada lahan (gulma) memakai sprayer (jenis konvensional dan CDA). Cara mekanis pernah dicoba, yaitu memakai clearing saw atau brush cutter, tetapi nampkanya kurang feasible.

Pengendalian gulma secara manual dilakukan dengan cara tebas memakai parang (tajam). Tunggul habis tebasan tidak boleh lebih dari 15 cm, agar gulma tidak mampu tumbuh tunas (copies) lagi. Penebasan dilakukan secara blanket (seluruh) bukan secara spot / ring (sekitar tanaman) atau jalur tanaman (strip). Tetapi kedua cara terakhir akan dilakukan percobaan. Barangkali cara-cara ini mampu menghemat biaya.

Hasil tebasan, kemudian dibiarkan di tempat untuk mulsa (penutup tanah) sehingga mampu menahan erosi. Serasah ini nantinya juga akan terdekomposisi menjadi hara tanah yang tersedia untuk “makanan“ tanaman pokok.

Cara penebasan secara manual dengan parang, mengeluarkan biaya yang paling murah dibanding cara kimiawi maupun mekanik. Pada lahan logged over area (rotasi kedua), prestasi kerja penebasan gulma secara manual hanya sekitar 7-8 HOK. Artinya, dalam satu hektar dapat diselesaikan sehari oleh 7-8 orang.

Dalam skala operasional, Perihal ketangkasan atau kemahiran dalam menebas, masyarakat di Sumatera Selatan dikenal sudah biasa (familier) dengan pekerjaan penebasan. Permasalahannya adalah jumlah tenaga yang harus tersedia pada unit-unit operasional tanaman dan sistem pengawasan di lapangan.

Cara Mekanik

Pengendalian gulma secara mekanik telah dicoba memakai Clearing saws tipe 252 RX. Alat ini mempunyai berat 8,9 kg (tanpa aksesori), dan jangkauan alat 1,5 m. Alat pemotong berupa gergaji (saws) circle dan bergerak searah horizontal. Clearing saws jenis ini mampu memotong kayu hingga diameter 15 cm.

Secara umum, hasil tebasan (pemotongan) dengan clearing saws sangat baik; seragam dan mampu memotong hingga tinggi tunggul sekitar 10 cm. Clearing saws nampaknya kurang cocok dipakai pada Logged Over Area yang banyak terdapat sisa tebangan. Sisa tebangan (berupa kayu) menghambat kinerja alat. Prestasi kerja alat sangat lambat (mencapai lebih dari 22 jam/Ha). Alat ini tidak sesuai untuk pekerjaan penghilangan gulma dengan ukuran kecil, tetapi cocok untuk penebangan/ pemotongan pohon (diameter 5–15 cm), oleh karena ukuran pisau atau gergaji cocok untuk pemotongan kayu.

Biaya penebasan gulma dengan Clearing Saws 252 RX termasuk tinggi (Rp. 155.300/Ha), jauh lebih tinggi dibanding dengan manual (kurang dari Rp. 100.000/Ha). Oleh karenanya, akan dicoba type atau ukuran pisau/gergaji yang sesuai dengan kondisi, jenis dan ukuran gulma, sehingga didapatkan prestasi kerja alat yang efisien.(Saifuddin Anshori)

Tidak ada komentar: