02 Desember 2007

MEMAHAMI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG PERUBAHAN IKLIM

Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Apa itu Pemanasan Global?

Pemanasan Global adalah proses kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Ada petunjuk hal itu terjadi akibat peningkatan jumlah emisi (buangan) Gas Rumah Kaca (GRK) di udara.

Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6°C pada abad ke-20 dibandingkan suhu pada tahun 1750, saat awal proses industrialisasi. Angka 0,6°C nampaknya merupakan perubahan yang kecil. Namun perubahan kecil itu mulai menimbulkan dampak yang merugikan bagi kehidupan kita.

Apa Penyebab Pemanasan Global ?

Pemanasan Global terjadi karena peningkatan jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di lapisan udara dekat permukaan bumi (atmosfer). Gas tersebut memperangkap panas dari matahari sehingga menyebabkan suhu bumi semakin panas dan akhirnya lebih panas daripada suhu normal.

Apa Itu Gas Rumah Kaca (GRK)?

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas di udara di atas lapisan permukaan bumi (atmosfer) yang memungkinkan sebagian panas dari matahari ditahan di atas permukaan bumi. Secara alami gas-gas rumah kaca ini juga memancarkan kembali panas matahari agar tidak semuanya diserap bumi tetapi juga agar sebagian diserap bumi. Dengan demikian gas rumah kaca membuat suhu di bumi pada titik yang layak huni bagi makhluk hidup. GRK secara alami juga menjaga agar iklim menjadi stabil.

Namun meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca akan menyebabkan pemanasan global. GRK terdiri dari beberapa unsur, di antaranya :

• Karbondioksida (CO2), dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara) untuk mendapatkan energi, selain kebakaran hutan dan lahan.

• Nitroksida (N2O), dihasilkan dari penggunaan pupuk kimia pada pertanian.

• Metana (CH4), dihasilkan dari pembusukan sampah yang tidak dikelola dengan baik, sawah tergenang, ternak dan gas daerah rawa.

Mengapa Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat?

Emisi GRK berasal dari kegiatan manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (seperti minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan gas alam). Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi untuk listrik, transportasi, dan industri akan menghasilkan karbondioksida dan gas rumah kaca lain yang dibuang ke udara.

Proses ini meningkatkan efek rumah kaca. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil menyumbang 2/3 dari total emisi yang dikeluarkan ke udara. Sedangkan 1/3 lainnya dihasilkan kegiatan manusia dari sektor kehutanan, pertanian, dan sampah.

Pada tahun 2000, buangan total di atmosfer mencapai 42 miliar ton (gigaton) setara karbondioksida. Satu liter bensin mengeluarkan buangan 2,4 kg setara CO2. Jadi Pada tahun 2000 dapat dikatakan dunia membakar 17,5 miliar liter bensin yang setara dengan 437,5 mobil berkapasitas 40 liter. Jika dibandingkan dengan jarak tempuh, jumlah bensin yang sudah dibakar dapat digunakan untuk menempuh perjalanan mobil sepanjang 157,5 miliar kilometer per tahun atau 431,5 juta kilometer setiap harinya.

Siapa Penghasil Emisi terbesar?

Negara-negara maju adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Menurut data dari PBB, urutan beberapa negara penghasil emisi karbondioksida per kepala per tahun sebagai berikut:

- Amerika Serikat 20 ton

- Kanada dan Australia 18 ton

- Jepang dan Jerman 10 ton

- China 3 ton

- India 1 ton

Kebakaran hutan dan lahan juga melepaskan karbondioksida dalam jumlah cukup besar, seperti yang terjadi di Indonesia. Hampir setiap tahun, terutama bila kebakaran sangat luas terjadi seperti pada tahun 1997, Indonesia melepaskan karbondioksida dalam jumlah besar.

Buangan dari sektor energi di negara berkembang jauh lebih kecil daripada di negara maju. Tetapi bila digabungkan dengan sektor non energi (perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan), maka angka buangan di negara berkembang juga cenderung tinggi walaupun tetap tidak setinggi di negara maju. Angka untuk sektor non energi masih jadi perdebatan. Indonesia misalnya, memang menyumbangkan emisi yang cukup tinggi saat terjadi kebakaran hutan, tapi emisi ini terjadi secara musiman dan perhitungannya belum bisa dipastikan. Walaupun demikian, kebakaran hutan dan lahan tetap harus dicegah demi menjaga kelestarian ekosistem dan mencegah pencemaran udara untuk kepentingan masyarakat Indonesia sendiri.

Apa itu Perubahan Iklim?

Perubahan Iklim adalah perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu yang relatif panjang (sekitar 30 tahunan). Ini bisa terjadi karena efek alami. Namun, saat ini yang terjadi adalah perubahan iklim akibat kegiatan manusia. Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi parameter iklim lainnya. Perubahan iklim mencakup perubahan dalam tekanan udara, arah dan kecepatan angin, dan curah hujan.

Apa hubungan antara Pemanasan Global dan Perubahan Iklim?

Pemanasan global pada dasarnya adalah peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan bumi. Di sisi lain, iklim sangat dipengaruhi oleh berbagai parameter iklim seperti kecepatan dan arah angin yang sangat dipengaruhi oleh tekanan udara dan suhu udara, selain kelembaban udara dan curah hujan yang dipengaruhi oleh radiasi matahari. Dengan terjadinya pemanasan global, berbagai parameter iklim akan terganggu sehingga secara jangka panjang iklim akan mengalami perubahan yang bersifat permanen.

BAGIAN I
Mengapa harus ada peraturan internasional tentang perubahan iklim?

Dalam Lembar Informasi No. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal” telah dijelaskan bahwa peningkatan suhu dunia harus dibatasi 2ºC agar kehidupan di bumi tetap dapat berlanjut. Jika negara-negara penghasil gas rumah kaca tidak diikat peraturan internasional, maka konsentrasi gas rumah kaca di lapisan udara bumi akan meningkat sehingga diperkirakan suhu bumi juga akan naik menjadi 5ºC.

Kapan dunia internasional mulai membahas perubahan iklim?

Dunia mulai membahas perubahan iklim tahun 1979 pada Konferensi Iklim Dunia Pertama yang diadakan Badan Meteorologi Dunia (WMO – World Meteorological Organization). Ketika itu bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh kegiatan manusia terhadap sistem iklim mulai terlihat.

Pada 1985, WMO bersama Program Lingkungan PBB (UNEP - United Nations Environment Programme) mengadakan pertemuan di Austria untuk melihat dampak karbondioksida dan gas rumah kaca lain terhadap iklim. Pertemuan ini kemudian menyimpulkan bahwa ”meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dipercaya akan menaikkan suhu bumi melebihi peningkatan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia”.

Kemudian dalam pertemuan Badan Pengurus WMO (WMO Executive Council) ke-40 dibentuklah Panel Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change) yang bertugas melakukan identifikasi dan pendalaman pengetahuan mengenai perubahan iklim serta dampaknya.

Apa itu IPCC?

IPCC adalah sebuah panel antar-pemerintah yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia. Tugasnya menyediakan data-data ilmiah terkini yang menyeluruh, tidak berpihak dan transparan mengenai informasi teknis, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. Termasuk informasi mengenai sumber penyebab perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan serta strategi yang perlu dilakukan dalam hal pengurangan emisi, pencegahan, dan adaptasi.

IPCC bersekretariat di Jenewa (Swiss) dan bertemu satu tahun sekali di sebuah rapat pleno yang membahas tiga hal utama: (1) informasi ilmiah mengenai perubahan iklim; (2) dampak, adaptasi dan kerentanan; (3) mitigasi perubahan iklim.

Apa hasil IPCC?

Pada 1990, IPCC menerbitkan hasil penelitian yang pertama (First Assessment Report). Laporan tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim dipastikan merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan manusia. IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim, mengingat hal tersebut merupakan sebuah proses global yang berdampak pada seluruh dunia.

Majelis umum PBB menanggapi seruan IPCC dengan secara resmi membentuk sebuah badan negosiasi antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk merundingkan sebuah konvensi mengenai perubahan iklim.

Laporan IPCC terakhir tahun 2007 secara garis besar terdiri dari :

• Laporan Kelompok Kerja I dikeluarkan pada Februari 2007, menekankan bahwa manusia adalah penyebab utama peningkatan gas rumah kaca (GRK) di lapisan udara.

• Laporan Kelompok Kerja II mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim dikeluarkan awal April 2007, membeberkan perkiraan ancaman bencana di banyak negara apabila tidak dilakukan upaya segera untuk mengurangi kegiatan yang dapat menyebabkan pemanasan global.

• Laporan Kelompok Kerja III yang dikeluarkan Mei 2007 menganalisis proses pengurangan emisi karbon yang sudah dan harus dilakukan, dan strategi adaptasi untuk bertahan terhadap dampak perubahan iklim yang tidak bisa dihindari.

Apakah Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC?

Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC - United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan internasional tentang penanganan perubahan iklim. Kesepakatan yang biasa disebut Konvensi Perubahan Iklim ditetapkan pada 1992 sebagai salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini terdiri dari 26 pasal dan dua lampiran atau Annex.

Apa tujuan Konvensi Perubahan Iklim?

Tujuan UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2).

Apa prinsip yang mendasari Konvensi Perubahan Iklim?

Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim mencantumkan prinsip-prinsip dasar, yaitu:

1. Kesetaraan (Equity)

Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.

2. Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities)

Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab paling besar dalam menangani perubahan iklim.

3. Tindakan kehati-hatian (Precautionary measure)

Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah dampak pemanasan global lebih lanjut.

4. Pembangunan berkelanjutan

Meski prinsip pembangunan berkelanjutan masih sering diperdebatkan, namun dapat digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”. Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Apa itu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I?

Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I.

Negara Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an, yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris, Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani.

Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I, yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Indonesia termasuk dalam negara Non-Annex I.

Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4 ayat 3).

BAGIAN II

Kapan Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku?

Konvensi Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi 50 negara. Hingga Agustus 2007 Konvensi tersebut telah diratifikasi 195 negara dan Masyarakat Uni Eropa (European Union Community). Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.

Bagaimana cara kerja Konvensi Perubahan Iklim?

Untuk menjalankan kegiatan, UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (COP — Conference of the Parties) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun, atau ketika dibutuhkan.

Fungsi dari Pertemuan Para Pihak adalah:

– Mengkaji pelaksanaan Konvensi

– Memantau pelaksanaan kewajiban para Pihak sesuai tujuan Konvensi

– Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi

– Membuat rekomendasi kepada Para Pihak

– Mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu

Selain itu, dibentuk dua badan pendukung yaitu Badan Pendukung untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan Pendukung untuk Pelaksanaan (SBI - Subsidiary Body for Implementation). Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua kali setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

Apa itu Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara maju, secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada Konferensi Para Pihak Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada Desember 1997.

Protokol Kyoto adalah sarana teknis untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim. Jadi protokol ini menetapkan sasaran penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012.

Apa perbedaan Protokol Kyoto dengan Konvensi Perubahan Iklim?

Konvensi adalah seperti Undang-undang dan Protokol adalah penjabaran langkah-langkah lebih rinci dan spesifik untuk mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah. Jadi Protokol Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan di dalamnya.

Apa yang diatur Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang diatur protokol yaitu : karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti pembangkit energi, proses industri, pertanian dan pengolahan limbah.

Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih bersih dan lebih ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.

Apa saja Mekanisme Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex I pada Konvensi Perubahan Iklim harus mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi yang ramah iklim dsb. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation);

Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi.

2. Perdagangan Emisi (Emission Trading);

Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi tetap memenuhi kewajibannya.

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism—CDM)

Pasal 12 Protokol Kyoto menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan membantu negara Annex I mencapai target pengurangan emisi dan negara Non-Annex I dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara Annex I melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang berpotensi mengurangi emisi dan/atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya akan dihitung sebagai pengurangan emisi di negara Annex I yang melakukan investasi tersebut. Mekanisme ini melibatkan berbagai persyaratan dan diawasi oleh sebuah badan operasional (Executive Board) yang ditunjuk COP. Dalam pelaksanaannya CDM adalah murni bisnis jual beli emisi.

Ketiga mekanisme fleksibilitas ini mengutamakan cara-cara yang paling murah dan mudah untuk mengurangi emisi GRK. Dalam kenyataannya, justru mekanisme ini yang berjalan, sementara komitmen untuk pengurangan emisi di tingkat nasional negara Annex I tersendat-sendat.

Kapan Protokol Kyoto mulai berlaku?

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:

1. Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim.

2. Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum 55% dari total emisi mereka pada 1990.

Pada 23 Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%. Ini berarti semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.

BAGIAN III

Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim

Sebelumnya:

Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim (Bagian Pertama)

Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami peraturan internasional tentang perubahan iklim (Bagian Kedua)

Kenapa Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto?

Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” karena usulan mekanisme fleksibilitas terutama tentang perdagangan emisi justru berasal dai AS.

Apakah Protokol Kyoto bisa memenuhi target?

Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena jumlah negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat di dalamnya baru mencapai 43%. Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992.

Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini sebenarnya tidak merundingkan pengurangan emisi secara tuntas. Sebaliknya keduanya adalah bagian dari tawar-menawar yang lebih luas antara negara-negara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994). Mekanisme fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak melaksanakan langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru menggunakan instrumen pasar dan membuat persoalan penting ini menjadi komoditi di pasar internasional.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah meratifikasi kedua kesepakatan iklim melalui Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang No. 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Setelah meratifikasi, Pemerintah Indonesia kemudian menyusun Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Tetapi seperti banyak UU lain di Indonesia, pelaksanaan kedua UU ini juga lemah.

Ada apa di Bali Desember 2007?

Bali menjadi tempat Konferensi Para Pihak atau COP 13 UNFCCC dan pertemuan para pihak atau Meeting of the Parties (MOP) ke 3 Protokol Kyoto (disingkat COP13/CMP3). Konferensi ini amat penting karena diharapkan menghasilkan semacam Bali Mandate yang menjadi pedoman bagi pembahasan mengenai pengurangan emisi GRK di masa mendatang karena kesepakatan pengurangan emisi periode pertama dalam Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012. Dunia mengharapkan para pemimpin negara-negara akan menyepakati butir-butir perundingan yang menjadi landasan bagi perundingan kesepakatan pengurangan emisi di masa datang. Hal ini diperlukan demi keselamatan bumi dan seluruh isinya. Karena itu Bali akan menjadi sorotan dunia pada Desember 2007 ini.

Isu penting lain yang akan dibahas di Bali?

Walaupun kesepakatan pasca 2012 dianggap sebagai yang terpenting, COP13/CMP3 di Bali akan membahas banyak isu penting lain, di antaranya:

1. Dana dan Pelaksanaan Program Adaptasi Perubahan Iklim

Negara berkembang perlu melaksanakan program adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan bencana seperti badai tropis, banjir, kekeringan, longsor, abrasi, erosi, dan gangguan kesehatan akibat perubahan iklim. Program tersebut memerlukan dana, sementara negara berkembang juga masih dalam proses melaksanakan pembangunan. Karena itu, perlu dirundingkan penyediaan dana tambahan oleh negara maju serta mekanisme yang adil untuk mengakses dana tersebut.

2. Pengurangan Emisi dari Kerusakan Hutan di Negara Berkembang/Reducing Emission from Deforestation in Developing Country (REDD)

Selama ini, upaya pelestarian hutan tidak diperhitungkan sebagai upaya mengurangi emisi, tetapi perusakan hutan, terutama melalui kebakaran, dihitung sebagai peningkatan emisi. Karena itu diperlukan pengaturan yang lebih adil bagi negara-negara yang kaya hutan dalam memperhitungkan sumberdaya hutan sebagai aset untuk mitigasi emisi GRK.

Beberapa hal penting adalah:

a. Memasukkan AD (Avoided Deforestation atau pencegahan kerusakan hutan) agar dipertimbangkan sebagai program pengurangan emisi.

b. Mekanisme pendanaan oleh pasar (dibiayai oleh swasta) dan non-pasar (dibiayai pemerintah) c. Pengelolaan Hutan Berkelanjutan/Sustainable Forest Management (SFM) baik pada hutan buatan maupun hutan alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi agar diperhitungkan sebagai program pengurangan emisi.

3. Transfer Teknologi

Negara maju berkewajiban melaksanakan alih teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang sesuai ketentuan dalam kedua kesepakatan iklim ini. Namun hal itu belum diwujudkan sama sekali. Bila negara berkembang diminta berpartisipasi dalam pengurangan emisi GRK, maka salah satu alat penting adalah teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar di negara maju. Tanpa alih teknologi negara berkembang akan kesulitan melaksanakan kewajibannya sesuai kesepakatan iklim.

Mengapa kita perlu memahami kesepakatan mengenai perubahan iklim?

Dampak perubahan iklim akan mempunyai pengaruh pada kehidupan kita sehari-hari. Pada Lembar Informasi No.1 disebutkan bahwa masyarakat yang paling miskin, yang tidak menyumbangkan pada GRK secara berarti, justru yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kesepakatan perubahan iklim dirundingkan oleh para pejabat pemerintah mewakili negara dalam kerangka PBB. Sebagai warga negara kita berhak mengetahui apa yang dirundingkan dan bahkan memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan posisi yang mementingkan kepentingan nasional dan rakyat. Apabila tidak, maka dikhawatirkan kesepakatan yang diambil pemerintah justru merugikan kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, saat ini beberapa mekanisme baru diusulkan dalam upaya menurunkan GRK misalnya melalui penyerapan karbon oleh hutan (carbon sinks). Namun usulan ini ditentang aktivis lingkungan dan masyarakat adat karena dikhawatirkan merupakan upaya pengambilalihan sumberdaya masyarakat adat dan lokal. Seperti dicetuskan peserta Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim Pertama (The First International Forum Of Indigenous Peoples on Climate Change) menyatakan bahwa “sinks (penyerapan) mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambilalihan tanah-tanah dan hutan-hutan kami.”

Masyarakat berhak mengetahui mekanisme apa yang akan disepakati dan memastikan bahwa pemerintah menyepakati mekanisme baru penurunan emisi karbon yang lebih adil. Yang lebih penting, mekanisme baru tersebut harus mampu menjawab permasalahan dasar dari perubahan iklim ini yakni kerakusan negara maju dalam mengkonsumsi energi dan sumber daya alam. (Disadur dari berbagai sumber)

TIDAK RASIONALKAH MANAJEMEN HUTAN KITA?

Pertanyaan ini pasti muncul, ketika membaca tema seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM pertengahan November 2007 yang lalu. Tema seminar itu adalah RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA. Tidak rasional kah pengurusan hutan kita selama ini?

Bagi penyelenggara seminar, pasti akan jawab, “Ya!” Bagi pelaku utamanya, yakni pemerintah, bisa Ya, bisa Tidak. Itu, tentu saja, setelah melihat perkembangan (dinamika) pembangunan (?) hutan kita sejauh ini. Dalam kurung tanda tanya, maksud saya adalah bahwa apakah selama ini kita melakukan pembangunan atau perusakan hutan? Kalau pembangunan, kok data degradasi lahan mencapai 2,5 juta ha/tahun? Kalau perusakan, kok ternyata masih banyak manajer-manajer di setiap kawasan atau daerah? Masih lengkap ada Menterinya, Dirjennya, Kepala Dinasnya sampai lembaga-lembaga pendukungnya, seperti Puslitbang, Balit, BPDAS, bahkan lembaga ilmiah seperti Fakultas Kehutanan masih “memproduksi” terus calon-calon rimbawan, yang tentu saja, fakultas itu mengharapkan alumninya bisa dan mampu membangun hutan kita ini.

Itulah memang, penyelenggara, yaitu Fakultas Kehutanan UGM memandang perlu bahwa kita harus segera mereformasi (kalau tidak boleh memakai kata revolusi) pengurusan hutan kita. Selama ini Pemerintah yang hanya lebih banyak berperan sebagai Regulator, sudah saatnya sekarang untuk action di lapangan, betul-betul mengurusi hutan. “Membumi,” kata orang.

Contoh tidak Rasional

Informasi dasar, yaitu luasan hutan kita yang sesungguhnya, belum diketahui secara pasti, bahkan oleh Pemerintah sendiri. Ini contoh real. Bagaimana kita bisa mengurusnya, kalau luasnya saja tidak tahu benar. Ya, tentu saja, oleh karena memang hutan kita luas (beberapa data menyebut lebih dari 100 juta hektar. Bandingkan dengan Jepang yang hanya 25 juta hektar). Kita perlu waktu dan teknologi untuk mengetahui ukuran yang pasti. Belum lagi, tumpang tindih penggunaanya antara kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, misalnya. Itulah, mengapa, barangkali panitia mengajak kepada peserta seminar (kemudian memberikan masukan kepada menteri Kehutanan) untuk merestrukturisasi manajemen hutan, yang mengakomodir berbagai kepentingan, yang lebih holistik, komprehensif dan pro terhadap rakyat. Pro poor, istilah kerennya.

Contoh tidak rasional yang lain, adalah bahwa selama ini devisa (masukan) bagi Negara berasal dari hutan, selalu hanya dikaitkan dengan jatah tebangan (artinya kayu). Padahal, di dalam hutan itu tersimpan berbagai sumberdaya, yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia, mulai dari produksi Oksigen, penyerapan karbon (mengurangi global warming), penyimpan air, plasma nuthfah, berbagai flora dan fauna yang bermanfaat bagi kita dan sebagainya. Sungguh pun telah ditetapkan kawasan hutan sesuai dengan peruntukannya, seperti kawasan produksi, kawasan konservasi, kawasan lindung dsb, tetapi ternyata banyak terkonversi oleh pihak-pihak yang boleh kita bilang tidak bertanggungjawab. Itulah penyebabnya, yang kemudian membuat hutan kita terdegradasi.

Masih ada contoh lagi. Di DIY hanya terdapat kawasan hutan seluas sekitar 15.000 ha saja. Itu pun, banyaklah hutan bukan produksi. Pegawai negeri (di bawah Dinas Kehutanan) yang terlibat disana, sekitar 500 orang. Itu, artinya setiap 30 ha, diurus oleh 1 orang. Di perusahaan swasta, contoh di sebuah HTI Sumatera Selatan, hutan seluas 20.000 ha, hanya cukup dikelola oleh sekitar 60 orang. Lebih Rasional yang mana, antara di Dinas kehutanan DIY atau di perusahaan swasta di Sumatera Selatan?

Masih ada contoh irrasional yang lain. Misalnya, adakah kantor Dinas Kehutanan, atau katakanlah Lembaga Penelitian Kehutanan, yang berada di tengah hutan di Negara kita ini? Bagaimana hati pengelola dan karyawannya tertambat di hutan, jika kantornya saja di dekat mall dan stadion? Contoh lain.. Ketika kita tahu bahwa ada kasus illegal logging (dari berita Koran dan Televisi), dan disitanya kayu oleh aparat dan Polhut, kejadiannya sudah berada di laut! Bisa ditebak kan, kalau memang pengamanan kurang dilakukan di hutan, dimana pepohonan masih tegak berdiri? Sungguh pun kasus illegal logging terungkap, tetapi tegakan pohon telah tumbang dan lahan sudah menggundul. Masih banyak contoh-contoh bentuk dan temuan pengurusan hutan yang irrasional.

Akhirnya, kita berharap, mulai 2008 ini ada gerakan yang reformis (kalau perlu revolusioner) dari pemerintah, yang mampu membangun kembali hutan kita dan bukan sebaliknya. Kita tunggu bentukan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang menjadi rekomendasi Fakultas Kehutanan UGM bagi hutan yang lestari di masa-masa mendatang. (Saifudin Ansori)

01 Desember 2007

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA

RUMUSAN FINAL SEMINAR NASIONAL
RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA
Implementasi Jangka Benah Hutan Indonesia 2045


Memperhatikan pidato dies natalis yang disampaikan Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon, serta paparan Dr. Ir. Sofyan P. Warsito dan Dr. Ir. San Afri Awang dan masukan dari sidang paralel yang terbagi menjadi 4 klater, maka diperoleh rumusan sebagai berikut:
  1. Dalam rangka mewujudkan pengurusan hutan nasional menuju hutan lestari dan masyarakat sejahtera, maka diharuskan pembentukan KPH.
  2. KPH sebagai strategi utama pengukuhan kawasan hutan menjadi kawasan hutan permanen, yang pembentukannya didasarkan pada kesatuan DAS dan atau ekosistem.
  3. Kelembagaan KPH harus sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan, dengan kerangka pendekatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan pemerintah Propinsi, Pemerintah kabupaten/Kota, dan Departemen lain, serta institusi masyarakat terkait.
  4. KPH diarahkan menjadi Badan Usaha Kehutanan yang dapat mendanai secara langsung program dan kegiatannya dari hasil usahanya.
  5. Perlu dipikirkan skim badan usaha KPH dalam bentuk Hak Guna Usaha kehutanan (HGUK).
  6. Pembentukan KPH perlu segera dideklarasikan secara nasional oleh Menteri kehutanan paling lambat akhir tahun 2008.
  7. Sebagai konsekuensinya, maka KPH harus segera diisi dengan personil rimbawan profesional yang didukung dengan alokasi pendanaan yang cukup untuk menjalankan program dan kegiatan KPH.
  8. Civitas Fakultas kehutanan UGM dan seluruh alumni mendukung dan siap mensukseskan program pembangunan KPH.
  9. Sebagai wujud dukungan kebijakan “Pro Poor”, maka diusulkan agar pemerintah mengalokasikan 15% dari wilayah hutan Indonesia untuk skim pemberdayaan masyarakat.
  10. Seluruh aktivitas pengelolaan dalam kawasan hutan termasuk didalamnya HTR, HKm, Hutan Adat dan lainnya berada dalam wilayah pemangkuan KPH.

Yogyakarta, 18 November 2007

Ditandatangani Oleh,
1. Ketua KAGAMAHUT (Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.)
2. Ketua Panitia Dies dan Reuni (Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc.)
3. Dekan Fak. Kehutanan UGM (Prof. Dr. Ir. Moch. Na’iem, M.Agr. Sc.)

08 Oktober 2007

Hari Kemenangan telah Tiba

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Allahu Akbar
Allahu Akbar wa lillahil hamd…


Sahut-sahutan suara takbir (Allahu akbar), tahlil (La ilaaha illallah) dan tahmid (lillahi alhamd) mulai terdengar. Tidak saja hanya di masjid atau surau-surau. Tetapi, segerombolan anak-anak bermain bahkan iklan di televisi atau radio pun mengumandangkan lafaz ini. Allah Maha Besar! Tiada tuhan selain Allah, dan hanya kepada-Nya lah pujian ditujukan. Bergemanya takbir, tahlil dan tahmid ini menandakan hari kemenangan itu telah tiba. Ya, setelah selama sebulan penuh sekolah, merenung, beramal, berpuasa dan beribadah lainnya, maka tibalah kemenangan itu, tentu saja bagi yang mendapatkannya.

Idul fitri. Kita mengenalnya dengan lebaran. Kembali kepada kesucian, bagaikan kertas putih belum ada coretan setitik pun. Itulah kemenangan yang diharapkan. Setelah selama sebulan puasa mensucikan dan membersihkan jiwa, dan kemudian membayar zakat untuk mensucikan harta. Saling memaafkan, adalah sifat kesatria. Betapa lemahnya manusia. Betapa kecil mahluk seperti kita di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita pasrahkan diri kepada-Nya. Kita letakkan ego dan individualis kita. Kita sadari bahwa kita adalah bagian mahluk sosial yang tak berarti apa-apa tanpa sesama.

Kepada seluruh pengunjung Blog ini, saya mengucapkan:
Selamat Idul Fitri, Taqobbalallohu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum kullu 'amin wa antum bi khoir minal aidien wal faizien, taqobbal Yaa kariem.. Semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda, puasa kami dan puasa Anda, semoga kita semua senantiasa dalam kebaikan, dan semoga kita termasuk bagian dari orang-orang yang kembali kepada kesucian dan termasuk kedalam golongan orang-orang yang medapatkan kemenangan. Segala kesalahan saya, baik yang saya sengaja maupun tidak saya sengaja, mohon dimaafkan. Lahir maupun bathin.

Bagi pengunjung Blog yang ingin lebih tahu seputar Idul fitri, halal bilhalal dan ucapan lebaran dapat mengunjungi disini. Mudah-mudahan kita menjadi faham dan ucapan selamat idul fitri yang selama ini kita sampaikan menjadi mengena di sanubari kita. (Saifudin Ansori)

07 Oktober 2007

Ramadhan hampir usai, tetapi mengapa aku tidak menangis?

Setiap tahun ia datang selama sebulan, selama 29 atau 30 hari. Ia datang ‘membawa’ berkah (barokah), kasih sayang (rahmah) dan ampunan (maghfiroh), tentu saja bagi yang memanfaatkannya. Demikian para Ustad (dari madrasah diniyah, dimana aku mulai kenal alif ba ta, hingga Ustad terkenal yang banyak memberikan fatwa dan menulis buku-buku) menjelaskan kepada kita. Dialah Bulan Ramadhan. Kita sering menyambutnya dengan mengucapkan, “Marhaban Yaa Ramadhan...”. Selamat datang hai Ramadhan…

Allah SWT pun berfirman, bahwa dalam sebulan itu orang-orang yang menyatakan dirinya beriman diwajibkan untuk berpuasa. Tujuannya adalah agar bertakwa. Para ustad memberikan pengetahuan bahwa orang beriman adalah ketika secara lisan telah mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Secara hati dan keyakinan, mengiyakan, dan secara nyata dibuktikan dengan tindakan. “Sudahkah aku termasuk kedalam orang-orang yang beriman?” aku bertanya. “Secara manusiawi”, aku ‘ngotot’ bahwa aku sudah beriman. Untuk itulah aku merasa berkewajiban menjalankan perintah berpuasa, dan kenyataannya aku belum pernah melewatkan barang satu hari pun. Tetapi, kadang-kadang aku masih “khawatir”, jangan-jangan aku hanya dapat lapar dan dahaganya. Dimana berkah itu, dimana kasih sayang itu, dan dimana ampunanNya?

Masih menurut para ustad, di bulan Ramadhan harus diperbanyak amal sholeh (untuk mendapatkan semuanya itu). Dari amalan yang paling sederhana, belajar untuk memperkaya khasanah diri misalnya, hingga memperbanyak shodakoh dan berzikir kepada Yang Maha Kuasa. Masih terasa betul, ketika aku mulai bisa membaca al-qur’an dengan lancar, bersama kawan-kawan sepermainan, setiap bakda tarawih dan shubuh, kami berkumpul melingkar di meja bundar di masjid yang asri di kampung kami, dan membaca al-qur’an secara bergantian (tadarus). Nyess.. rasanya. Selama sebulan, kami bisa menghatamkan selama 3-4 kali. Kemudian setelah khatam terakhir, kami menghadiahi kami sendiri, dengan pesta kecil. Setiap orang “wajib” ikut merayakan prestasi kami dengan membuat makanan (istilah kami langsangan), kemudian kami makan bersama di masjid.

Bulan Ramadhan, di waktu aku masih kecil dulu, adalah bulan yang kami tunggu-tunggu. Kami bisa bermain petasan secara “bebas” setiap habis berbuka. Tidak punya uang untuk beli pun, kami bisa mengganti suaranya dengan membikinnya dari batang bambu yang kami isi dengan minyak tanah dan belerang dan kemudian kami sulut dengan api (kami namakan Long. Lucu ya?). Kami bisa berebut menabuh bedhug keras-keras sehabis usai sholat tarawih. Kami boleh tidak bekerja seperti bulan yang lainnya. Kami sering membuang waktu dengan mandi di sungai di siang dan sore hari. Kami sangat gembira karena banyak orang yang ngasih kami uang jajan. Kami sangat senang menyambut lebaran, dengan takbir keliling membawa obor berjalan kaki. Kami sangat senang dengan dibelikan baju baru. Kami sangat senang banyak famili datang berkunjung. Kami sangat gembira bisa jalan kaki atau bersepeda bersama-sama kawan mengunjungi guru-guru kami. Kami saling memaafkan kesalahan selama setahun kami. Kami punya banyak makanan yang warna warni. Itulah realita bulan Ramadhan di masa kecilku.

Begitu istimewanya bulan Ramadhan di masa kecilku. Itukah berkah? itukah kasih sayang?, dan itukah ampunan? Itukah keistimewaan Ramadhan? Itulah kenyataan yang kami rasakan dulu.

Para Ustad menjelaskan, keistimewaan bulan Ramadhan adalah waktu dimana pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, dan syetan-syetan dibelenggu. Istimewa yang lain adalah Allah menurunkan al-qur’an, sebagai pegangan hidup (hudan li-naas) yang bisa membedakan antara hak dan bathil, di bulan Ramadhan. Dari al-qur’an itu pula kita diberi petunjuk untuk membaca. Allah menurunkan lailatul qadar di bulan Ramadhan ini, yaitu malam yang hitungannya lebih baik dari 1.000 bulan. Hikmah puasa mampu meningkatkan hubungan ilahiah (hablum minallah) dan rasa solidaritas kita (hablum minannaas). Ramadhan mampu merobah kehidupan kita. Puasa bisa meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani kita. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidurnya orang berpuasa adalah ibadah.” Apalagi amalan yang lebih nyata! Dan masih banyak lagi, yang sering terdengar di telinga dan terbaca oleh mata kita.

Ramadhan hampir usai. Tetapi adakah hikmah yang aku rasakan, selain lapar dan dahaga? Adakah aku tambah dekat dengan Yang Maha Kuasa? Adakah aku semakin peduli dengan sesama? Adakah berkah yang saya rasakan? Adakah bertambah kasih sayang? Adakah aku merasa aman dimaafkan? Adakah aku merasa terengkuh seribu bulan? Adakah aku sudah bertakwa?

Ramadhan hampir usai. Sebentar lagi meninggalkanku. Setahun lagi aku bisa menemuinya kembali. itupun kalau Allah memberiku umur panjang. Tetapi, mengapa aku tidak menangis? (Saifudin Ansori)

04 Oktober 2007

POTENSI BIOMASA TERTINGGAL DALAM TAPAK SEBAGAI PENYEDIA UNSUR HARA TANAH

POTENSI DAN PENGELOLAAN BIOMASA TERTINGGAL DALAM TAPAK SETELAH TEBANG SEBAGAI PENYEDIA UNSUR HARA TANAH
BAGI KELESTARIAN TANAMAN JENIS CEPAT TUMBUH
(KASUS Acacia mangium DI SUBANJERIJI SUMATERA SELATAN)


POTENTIAL AND MANAGEMENT OF HARVEST RESIDUES AS NUTRIENT RESERVE FOR THE SUSTAINED PRODUCTIVITY OF FAST GROWING PLANTATION (A CASE OF Acacia mangium PLANTATION IN SUBANJERIJI SOUTH SUMATRA)

Saifudin Ansori, Jiyana, Slamet Untung dan Agus Wicaksono


Abstrak

Makalah ini menyajikan tinjauan beberapa hasil penelitian tentang produktivitas hutan tanaman Acacia mangium rotasi pertama di Subanjeriji, Sumatera Selatan, dan potensi biomasa tertinggal dalam tapak pasca panen, kaitannya dengan sumber hara tanah bagi keberlangsungan tanaman rotasi berikutnya.

Dari satu tapak telah diteliti dan diketahui bahwa biomasa tegakan A. mangium di atas permukaan tanah rotasi pertama di Merbau Subanjeriji mencapai 163,6 ton/ha pada usia tebang (8 tahun). Sebanyak 123 ton/ha (75%) kayu (diameter > 8 cm) dan kulit dipanen untuk bahan baku pulp, dan sisanya (40,6 ton/ha) ditinggal dalam tapak sebagai residu tebangan, berupa kayu diameter kecil (<8cm), daun dan organ reproduktif. Vegetasi (non A. mangium) di bawah tegakan mencapai 7 ton/ha, serasah lantai hutan setelah tebang mencapai 8,5 ton/ha, dan biomasa berupa akar tertinggal didalam tanah mencapai 25 ton/ha. Total biomasa tertinggal dalam tapak mencapai 81,1 ton/ha. Biomasa sebesar ini terdekomposisi sebagai bahan organik tanah dan menjadi sumber hara bagi pertanaman daur kedua.

Pengelolaan biomasa tertinggal dalam tapak mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah dan pada akhirnya menentukan produktivitas tanaman daur berikutnya.

Kata kunci: Biomasa, residu tebangan, serasah, bahan organik tanah, produktivitas, Acacia mangium


Abstract

This paper presents a review of some results of research on the productivity of the first rotation of Acacia mangium plantation in Subanjeriji South Sumatra, and the potential of harvest residues retained on the site related to the soil nutrient resources for sustainability of the plantation in the next rotation.

A study on the productivity of A. mangium in Subanjeriji was conducted, and the total biomass of standing trees of A. mangium plantation in Merbau Subanjeriji was 163.6 ton/ha at the end of rotation (8 years). There were 123 ton/ha (75%) of stem wood (diameter > 8 cm) and bark harvested for pulp, and 40.6 ton/ha of wood, leaf and reproductive parts left on the site as residues. The undergrowth (non-A. mangium) biomass was 7 ton/ha, the litter layer on the forest floor was 8.5 ton/ha, and the underground biomass in the form of root was 25 ton/ha. Total biomass left on the site was 81.1 ton/ha. The biomass will decompose and change to soil organic matter and it is a source of soil nutrient for the trees in the second rotation plantation.

The management of harvest residues affects the availability of nutrient in the soil and productivity of plantation in the second rotation.

Kata kunci: Biomass, harvest residue, litter, soil organic matter, productivity, Acacia mangium

03 Oktober 2007

HASIL PERSEMAIAN BERBAGAI JENIS MERANTI ASAL KALIMANTAN

HASIL PERSEMAIAN BERBAGAI JENIS MERANTI ASAL KALIMANTAN

Saifudin Ansori dan Supriyanto

Pendahuluan

Beberapa perusahaan Kehutanan (Perhutani, Inhutani dan beberapa perusahaan swasta) yang berkomitmen untuk ikut melestarikan pohon-pohon jenis lokal, seperti jenis meranti. Komitmen tersebut, paling tidak, dibuktikan dengan telah dimulainya kerjasama antara ITTO (International Tropical Timber Organisation), Departemen Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan perusahaan-perusahaan kehutanan.

Dimulai pada tahun 2002 ini hingga tahun 2005, dua kegiatan telah disetujui oleh ITTO, yaitu berjudul Model Development to Establish Commercial Plantation of Dipterocarps (PD 41/00 Rev. 3 (F,M)), dan Increasing Genetic Diversity of Shorea leprosula and Lophopetalum multinervium for Breeding and Genetic Improvement (PD 106/01 Rev. 1 (F)).

Koleksi Buah Dipterocarpa di Kalimantan

Koleksi buah dipterocarpa dilakukan oleh kolektor dari Universitas Gadjah Mada, dibawah pimpinan Kepala Proyek (Prof. Soekotjo dan Prof. Oemi Hani’ien Soeseno). Kebetulan sekali, pada tahun 2002 ini pohon-pohon jenis meranti di Kalimantan banyak menghasilkan buah, sehingga pengunduhan benih tersebut disebut sebagai panen raya buah meranti.

Koleksi buah dibagi menjadi 5 wilayah, yaitu:
  1. Wilayah yang meliputi kelompok hutan Bukit Baka dan Gunung Bunga (keduanya milik PT. Sari Bumi Kusuma dari Kalimantan Barat)
  2. Wilayah yang terdapat di Kalimantan Timur
  3. Wilayah yang terdapat di Kalimantan Tengah
  4. Wilayah yang mencakup Kelompok Hutan Pulau Laut, dan
  5. Wilayah Sumatra
Tetapi, benih yang dikirimkan ke Subanjeriji, hanya dari 3 wilayah, yaitu lokasi dari (1) Kalimantan Barat, (2) Kalimantan Timur, dan (3) Kalimantan Tengah. Terdapat 4 lokasi pengunduhan, yaitu Bukit Baka, Gunung Bunga, ITCI dan Muara Teweh.

Sebelum dilakukan pengumpulan buah, tanaman bawah yang ada di sekitar batang dari pohon terpilih, dibersihkan dari semak, perdu dan tanaman bawah lainnya. Tujuan dari pembersihan tanaman bawah ini adalah agar buah yang baru jatuh dapat dengan mudah diketahui, sehingga mudah dikoleksi. Buah yang dikoleksi adalah buah yang sudah masak, ditandai oleh keluarnya radicle (calon akar).

Buah yang telah dikumpulkan selama 5 hari sudah harus dikirim ke alamat yang ditentukan, termasuk PT. Musi Hutan Persada. Dengan cara ini dimaksudkan agar buah sudah sampai di tempat tujuan kurang dari 10 hari terhirung sejak buah untuk pertama kali dikumpulkan. Pekerjaan pengiriman dilakukan beberapa kali (tahap) sehingga seluruh target dapat dicapai (Soekotjo, 2001).

Dari hasil penerimaan buah tersebut, ditemui cara pengepakan (pengiriman) dan jumlah benih yang masih dapat disemaikan (Baik) sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Cara Pengepakan Benih dan Prosentase Benih yang Baik

No. Cara pengepakan (Prosentase Benih baik (%))
  1. Dibungkus koran (lembab), dimasukkan dalam keranjang rotan (54.02)
  2. Dibungkus koran (lembab), dimasukkan dalam kardus (78.13)
  3. Dibungkus dalam kantong plastik kemudian dilapisi koran (lembab), dimasukkan kedalam kardus (85.50)
  4. Dibungkus kantong plastik, dimasukkan dalam keranjang rotan (82.00)
  5. Dibungkus kantong plastik, dimasukkan dalam keranjang rotan, dimasukkan dalam kardus (88.00)
  6. Dibungkus koran (lembab), masuk dalam kardus dan dimasukkan dalam kardus lagi yang lebih besar (70.00)
  7. Dibungkus plastik, masuk dalam kardus dan dimasukkan dalam kardus lagi yang lebih besar (99.00)
  8. Benih dicampur dengan serbuk kayu, kemudian dibungkus dengan koran (lembab), dimasukkan dalam kardus (81.00)
Benih (dan sedikit anakan) dikirim dari Kalimantan sebanyak 16 tahap pengiriman, dengan perincian terdapat 40 species/jenis (lihat Tabel 2) dari 361 seed lot (famili), dan sebanyak 86.854 buah yang dapat disemaikan (kondisi baik).

Benih yang tidak baik, antaralain telah mengering, tumbuh akar yang panjang tetapi layu, dan sebagian diterima dalam kondisi sudah busuk, sehingga tidak disemaikan. Hal ini, diduga karena faktor cara pengepakan dan terlambatnya pengiriman.


Cara dan Hasil Persemaian

Oleh karena, benih jenis meranti termasuk jenis rekalsitran, maka harus cepat-cepat dipindah pada persemaian begitu benih datang. Media persemaian memakai top soil (sebagian sub soil) dalam poly bag berukuran sedang (diameter 12 cm) dan lebih banyak ukuran kecil (diameter 6 cm). Persemaian ditempatkan dibawah naungan (sarlon dan sebagian di bawah tegakan Acacia mangium).

Hasil auditing hingga bulan April 2001 (umur bibit 0,5 – 2,5 bulan) menunjukkan bahwa rata-rata prosentase kehidupan adalah 46% dari jumlah benih yang disemaikan (diterima dalam kondisi baik).

Hasil dari persemaian (bibit) tersebut, nantinya akan dijadikan bahan trial (uji), yaitu: (1) Uji species, (2) Uji Tanaman, (3) Uji Keturunan, (4) Uji Konservasi, dan (5) Pembangunan Kebun Pangkas, yang akan dilaksanakan (establishment) pada akhir tahun 2002 ini. Kegiatan ini termasuk kedalam 2 Kegiatan ITTO tersebut di atas.

Tabel 2. Jenis-jenis Meranti yang Disemaikan dan Rerata Prosentase kehidupan
di Subanjeriji

No Jenis (Species) Hidup (%) No Jenis (Species) Hidup (%)
1 Anisoptera 5.36 21 S. atrinervosa 31.36
2 Bengkirai Batu 16.00 22 S. compressa 25.19
3 Bernuas 72.11 23 S. hopeifolia 15.75
4 Dipterocarpus cornutus 74.00 24 S. johorensis 28.09
5 Dipterocarpus grandiflorus 30.00 25 S. lamellata 38.71
6 Dipterocarpus tempehes 57.50 26 S. macrophylla 34.88
7 Dryobalanops lanceolata 45.47 27 S. myrionerva 7.90
8 Dryobalanops sp. 69.23 28 S. nopeitalia 53.00
9 Hopea bulanaffinsia 56.21 29 S. ovalis 43.46
10 Hopea dryobalanoides 39.22 30 S. fallax 85.50
11 Hopea ferruginea 8.72 31 S. palembanica 22.76
12 Hopea mangarawan 37.04 32 S. pankitovia 4.40
13 Hopea sp. 25.42 33 S. pauciflora 31.06
14 Jungan kuning 93.81 34 S. parvifolia 39.91
15 Jungan merah (daun besar) 42.66 35 S. selanica 19.18
16 Jungan merah (daun kecil) 49.66 36 S. smithiana 23.21
17 Pangin 65.19 37 S. stenoptera 44.50
18 Perupuk 11.11 38 S. leprosula 46.44
19 Shorea acuminatissima 7.58 39 Shorea sp. 52.38
20 S. acuminata 38.79 40 Tengkawang 71.36

Pustaka Acuan

Soekotjo. 2001. Petunjuk Teknis Koleksi Buah Dipterocarpa. Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

DINAMIKA AIR PADA AKHIR DAUR HUTAN TANAMAN

DINAMIKA AIR PADA AKHIR DAUR HUTAN TANAMAN
Acacia mangium DI SUBANJERIJI SUMATERA SELATAN
(Water Dynamics on final stage of rotation of Acacia mangium Plantations
in Subanjeriji South Sumatra)


Saifudin Ansori dan Himawati Pramono

Abstract
Hydrology system in the plantation forest ecosystem is crucially important to be known for choosing an appropriate management practice related with plantation processes, especially water availability for tree growing. Water dynamics were studied on the Acacia mangium plantations in Subanjeriji South Sumatra in 2004.

The study was established on a 7- year old plantation of A. mangium with stand density of 850 trees/ha. The soil on the study site belongs to red yellow podzolic (Ultisol). Variables measured consist of precipitation, stem-flow, through-fall, interception, infiltration and run off. Precipitation and throughfall were measured manually, while infiltration was measured using lysimeter placed below the litter layer. Water samples were taken every ten days for the duration of one year.

The total rainfall in 2004 at the study site was found to be 2742 mm, monthly rainfallranging from 46 mm in September and 483 mm in April. Approximately 7%, 81% and 12% of the rainfall comprised stemflow, throughfall and interception, respectively. The amounts of interception, infiltration and run off were 331 mm, 1486 mm and 775 mm respectively, showing that A. mangium plantation forest is capable for saving water indicated by the high value of infiltration and few of water losses.

Key words : Acacia mangium, hydrology

Abstrak
Tata air di dalam ekosistem hutan tanaman perlu diketahui untuk memilih pengelolaan yang tepat berkaitan dengan proses-proses pertanaman, terutama ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman. Dinamika air yang bersumber dari curah hujan telah diteliti pada pertanaman Acacia mangium di Subanjeriji Sumatera Selatan.

Penelitian dilakukan selama satu tahun pada akhir daur tegakan A. mangium (umur 7 tahun) dengan kerapatan 850 pohon/ha. Variabel yang diamati meliputi curah hujan, aliran batang, aliran tembus dan lolos tajuk, kehilangan air setelah jatuh atau intersepsi, infiltrasi tanah dan aliran permukaan. Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan manual. Aliran batang ditampung pada drum yang dihubungkan dengan selang dari gabus yang dililitkan pada batang pohon. Aliran tembus ditampung memakai corong yang dihubungkan dengan botol plastik besar. Intersepsi diukur dari ketebalan curah hujan dikurangi aliran tembus dan aliran batang. Infiltrasi diukur dengan lisimeter yang diletakkan dibawah seresah lantai hutan dan ditampung pada botol plastik besar. Aliran permukaan diketahui dari jumlah air yang jatuh hingga lantai hutan dikurangi air yang terinfiltrasi kedalam tanah. Pengamatan dilakukan setiap 10 hari sekali selama satu tahun.

Curah hujan tahunan di lokasi penelitian adalah 2742 mm, dengan curah hujan bulanan minimum 46 mm jatuh pada bulan September dan maksimum 483 mm pada bulan April. Sebanyak 7% air mengalir melalui batang, 81% melalui aliran tembus, dan 12% air hilang sebagai intersepsi.

Dalam satu tahun, dari curah hujan setebal 2.742 mm, sebanyak 331 mm hilang oleh karena intersepsi, 1.486 mm terinfiltrasi kedalam tanah dan 775 mm mengalir sebagai aliran permukaan. Hutan tanaman A. mangium mampu menyimpan air yang ditunjukkan oleh tingginya infiltrasi tanah dan sedikitnya air yang mengalami pelimpasan keluar lantai hutan.

Kata kunci: Tata air, Acacia mangium

SINERGI JENIS CEPAT TUMBUH DAN UNGGULAN LOKAL

SINERGI JENIS CEPAT TUMBUH DAN UNGGULAN LOKAL
UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN
DAN PERBAIKAN LAHAN KRITIS DI INDONESIA
(Synergy of fast growing species and local indigenous to develop plantation forest and rehabilitate degraded land in Indonesia)


Saifudin Ansori dan Hardjono Arisman


Abstract
Indonesian natural forest decrease to be degraded land spaciously. It was effected by mismanagement, illegal logging, shifting cultivation and fire. In other side, the fixed capacity of wood industries too high than natural forest capability to produce the wood for supplying the industries.

In the condition, developing industrial forest plantation very important, not only for increasing forest productivity but also for supplying wood material for the industries in the short term.

A fast growing species to be a choice for developing industrial forest plantation because its capability to adapt on degraded lands, and the rotation is short. There is an opinion that rehabilitation of degraded land by indigenous species is better. This second opinion to impression that there are a dichotomies; fast growing species and local indigenous species, which it is not true.

In economically, fast growing species development give profit immediately by short rotation. In ecologically, it has positive effects, i.e. improve the soil, micro climate and environment. The profit and positive effects can be used as business capital for developing local species, that it has long rotation and need high condition for the growth relatively.

There are synergy relation of fast growing species and indegenous species for developing industrial forest plantation and rehabiliting degraded land in the tropics particullary in Indonesia.

Key words: degraded land, industrial forest plantation, fast growing, indegenous species


Abstrak
Degradasi hutan alam di Indonesia menjadi lahan kritis semakin meluas. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan yang tidak tepat, penebangan liar, perambahan, dan kebakaran hutan. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri perkayuan jauh lebih besar melampaui kemampuan hutan alam produksi dalam menghasilkan pasokan kayu untuk memasok keperluan industri.

Dalam kondisi seperti di atas, pembangunan hutan tanaman industri sangat diharapkan kontribusinya, tidak saja sekedar meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak, tetapi sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek.

Jenis cepat tumbuh, dipilih dalam pengembangan hutan tanaman industri karena kemampuannya beradaptasi pada lahan-lahan kritis dan singkat daurnya. Sementara sebagian pihak berpandangan bahwa perbaikan lahan terdegradasi sebaiknya menggunakan jenis unggulan lokal. Pandangan ini memberikan kesan bahwa terdapat dikotomi antara pengembangan jenis cepat tumbuh dan jenis lokal, yang sesungguhnya hal ini tidak perlu terjadi.

Dari sisi ekonomis, pengembangan jenis cepat tumbuh memberikan keuntungan segera dengan cepatnya daur pemanenan. Dari sisi ekologis (biologi, kimia dan fisika), jenis cepat tumbuh memberikan dampak posisif, yaitu meningkatkan kesuburan tanah dan perbaikan iklim mikro serta lingkungan. Keuntungan dan dampak positif ini dapat dijadikan modal untuk pengembangan jenis (unggulan) lokal yang berdaur panjang dan memerlukan persyaratan tumbuh (kondisi tapak dan iklim mikro) yang relatif tinggi.

Terdapat hubungan sinergis antara pengembangan jenis cepat tumbuh dan jenis (unggulan) lokal dalam (usaha) pembangunan hutan tanaman maupun rehabilitasi lahan-lahan kritis di daerah tropis seperti di Indonesia.

Kata kunci: lahan kritis, hutan tanaman industri, jenis cepat tumbuh, unggulan lokal

27 September 2007

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium
UNTUK MEMASOK BAHAN BAKU PULP DAN KAYU PERTUKANGAN JANGKA PENDEK

Saifudin Ansori

Pendahuluan
Hutan alam produksi Indonesia semakin hari semakin menipis potensinya. Bahkan akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan bahwa kondisi hutan alam kita telah rusak sebagai akibat berbagai hal, seperti penebangan liar (illegal logging), perambahan, kebakaran hutan dan konversi menjadi fungsi lain. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri perkayuan jauh lebih besar daripada kemampuan hutan alam produksi dalam menghasilkan pasokan kayu untuk memasok keperluan industri.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI), terutama jenis cepat tumbuh (fast growing species), sangat diharapkan kontribusinya, tidak saja sekedar meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak, tetapi sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek. Hasil kayu dari hutan tanaman ini tidak saja diperuntukkan sebagai bahan pulp, tetapi juga dapat diperuntukkan sebagai bahan non pulp seperti kayu gergajian (sawn timber), wood working, veneer, particle board, MDF (medium density fiberboard), energi (bio-fuel) dan sebagainya. Untuk mendapatkan tegakan (kayu) yang berkualitas baik, tentu saja, upaya melalui perlakuan silvikultur intensif mutlak dilakukan.
Saat ini, mayoritas tanaman yang dibudidayakan dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia adalah jenis Acacia mangium. Dipilihnya jenis ini, dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Pertumbuhan cepat,
• Adaptif pada tanah-tanah dengan tingkat kesuburan rendah dan kemasaman relatif tinggi,
• Menghasilkan kayu yang cocok untuk bahan baku pulp dan non pulp. Kualitas pulp A. mangium setara dengan kualitas pulp Eucalyptus yang telah banyak beredar di pasar pulp dunia. Kayu A. mangium juga baik untuk bahan kayu pertukangan,
• Budidaya A. mangium relatif mudah, mulai dari penanganan benih, persemaian, sampai dengan penanaman di lapangan,
• Mempunyai respon positif terhadap upaya seleksi, sehingga mudah didapatkan benih unggul.

Pengalaman menyediakan bahan baku pulp dari hutan tanaman Acacia mangium
Pada pertengahan 1990an, beberapa perusahaan HTI telah memulai melakukan pemanenan A. mangiu. Tanaman yang berhasil memerlukan pola silvikultur intensif. Hasil pemanenan, sebagian besar bahklan hamper seluruhnya diperlukan untuk memasok industri pulp. Dari beberapa site didapatkan data bahwa volume komersial rata-rata mencapai 200 m3/ha.
Umur masak tebang A. mangium untuk bahan pulp adalah 8 tahun, tetapi kombinasi umur tebangan dari 6 hingga 10 tahun telah direncanakan dengan maksud menyebar beban pekerjaan berdasarkan lokasi dan kelas umur tegakan. Inventarisasi pra tebang dilakukan setidaknya setahun sebelum penebangan untuk mendapatkan data tentang potensi volume, menentukan jalur tebang dan ekstraksi kayu, serta pembangunan/perbaikan jaringan jalan.
Sistem pemanenan yang dipakai adalah organized felling system. Sistem ini terdiri atas kombinasi tebangan manual memakai chainsaw, pemotongan cabang (triming), pemotongan dengan ukuran sortimen 2,5 m (bucking), penumpukan kayu di tempat (stacking), dan penyaradan kayu (extraction) menggunakan forwarder.
Penebangan dilakukan oleh regu tebang terdiri dari seorang operator chainsaw dibantu oleh tiga orang (helper) untuk mendorong pohon kearah rebah, mengukur (scaling) dan menumpuk (stacking) sortimen di tempat. Untuk memudahkan pengawasan, 15 regu penebang bekerja dalam satu petak tebang (setting tebang) dan dibawah satu kontraktor/pemborong.
Penebangan dirancang menggunakan 5 atau 7 baris pohon, di mana barisan tengah berfungsi sebagai as (sumbu) dan semua pohon direbahkan ke barisan tengah tersebut . Lima baris untuk jarak tanam 3 m, dan 7 baris untuk jarak tanam 2 m. Cabang-cabang dihilangkan, dan kayu dipotong menjadi 2,5 m dengan diameter terkecil 8 cm (dengan kulit). Sisa kayu, cabang-cabang (diameter kurang dari 8 cm) dan daun ditinggal dan ditumpuk sebagai landasan forwarder . Tumpukan residu tebangan ini dimanfaatkan untuk meminimalkan pemadatan (kerusakan) tanah akibat lintasan forwarder.
Ekstraksi kayu dilakukan pada saat kondisi lengas tanah rendah untuk mengurangi efek pemadatan tanah. Kayu-kayu disarad ke tempat penumpukan kayu sementara (TPn), yaitu di pinggir jalan.
Kayu di TPn dapat diangkut ke pabrik sekitar 3 - 6 bulan kemudian. Pengangkutan dilakukan memakai logging truck berkapasitas sekitar 40 m3.

Silvikultur intensif Acacia mangium
Tidak bisa disangsikan lagi, bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman memerlukan penerapan teknik-teknik silvikultur yang intensif untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tegakan secara lestari dan berkesinambungan. Penerapan teknik silvikultur intensif, dimulai ketika memilih spesies yang cocok dan sesuai ditumbuhkan pada lahan yang ada, serta diintegralkan kedalam industri atau peluang pasar. Di dalam operasional kegiatannya, perlu dicari dan ditentukan teknik-teknik yang mudah dan mendukung dalam memperoleh produktivitas yang tinggi, sekaligus meningkatkan mutu lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat (Arisman, 2000). Untuk itu perlunya penataan areal (di awal kegiatan), dan penerapan teknologi dan dukungan ilmu pengetahuan pada setiap komponen kegiatan.

Penataan areal
Sebelum dilakukannya pembangunan tanaman, proses pertama yang dilakukan adalah penataan areal. Secara garis besar areal bisa dibagi menjadi Wilayah-wilayah (berdasarkan letak geografis dan luas areal). Kemudian dari wilayah ini dibagi ke dalam beberapa unit, dengan luas 15.000 - 20.000 ha. Unit dibagi lagi ke dalam blok, dengan luas sekitar 5.000 ha. Kemudian, blok dibagi ke dalam subblok, dengan luas sekitar 1.000 ha, dan sub-blok dibagi kedalam petak seluas 50 ha, arah utara-selatan 1.000 m, dan barat-timur 500 m. Petak merupakan satuan pengelolaan terkecil. Tetapi petak ini bisa terbagi lagi menjadi anak petak.
Pada daur kedua, setelah penebangan daur pertama, dilakukan rekonstruksi petak berdasarkan kondisi geografis, dengan diterapkannya teknologi sistem informasi geografi (geographic information systems).
Untuk mendukung operasional, dibangunlah infrastruktur, seperti jalan utama, jalan cabang, jalan tanam maupun jalan inspeksi, jembatan, dan sebagainya. Areal yang dipakai untuk infrastruktur ini, mencapai sekitar 20 m2/ha. Untuk mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, perlu dipertahankannya kawasan hutan konservasi, zona proteksi (lebung, dan sempadan sungai), serta penanaman jenis lokal dan MPTS (multi purpose trees species).

Sistem silvikultur
Sistem silvikultur yang diterapkan untuk jenis Acacia mangium adalah tebang habis permudaan buatan. Sistem ini sesuai diterapkan pada lahan-lahan terdegradasi untuk tujuan pengusahaan hutan tanaman, dengan memakai teknik silvikultur yang intensif. Oleh karenanya, diperlukan areal yang luas dan relatif kompak, sehingga dapat dibuat tegakan tanaman yang sama umur, seragam, dan berkesinambungan dengan produksi yang tinggi dan kualitas yang baik.
Selain untuk produksi pulp, Acacia mangium juga baik digunakan sebagai kayu pertukangan. Pada petak-petak untuk menghasilkan kayu pertukangan dilakukan penjarangan. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan pulp, particle board atau energi.

Pengadaan Benih
Bibit A. mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi di persemaian. Pada awalnya, digunakan benih dari tegakan benih lokal yang belum terimprove, tetapi selanjutnya harus ditingkatkan dengan menggunakan benih unggul (asal benih maupun famili terpilih) dari hasil program pemuliaan pohon.
Dilihat dari nilai riap, hasil penelitian di Subanjeriji terdapat 5 provenans (dari 20 provenan) yang paling baik adalah berasal dan Papua Niugini dan Queensland, yaitu Oriomo R (PNG), Olive R (QLD), Wipim (PNG), Lake Muarray (PNG), dan Kini (PNG). Tetapi, apabila dilihat dari nilai/indeks kelurusan batang dan persistensi sumbu batang, 5 provenans terbaik adalah Oriomo R (PNG), Wipim (PNG), Muting (Merauke), Kuru (PNG), dan INHUTANI (Pohon plus) (Siregar dan Khomsatun, 2000). Untuk membangun tegakan kayu pertukangan, perlu dipertimbangkan pemakaian benih yang mempunyai indeks kualitas bentuk batang dan kelurusan tinggi, di samping riap pertumbuhannya. Program pemuliaan pohon harus terus dilakukan, seperti upaya peningkatan genetik melalui seleksi provenans dan seedlot, dalam rangka menghasilkan bahan tanam yang terbaik dan paling menguntungkan.
Saat ini, untuk menyebut contoh, di Sumatra Selatan telah terdapat area produksi benih (SPA; Seed Production Area) seluas 96,8 ha, kebun benih semai generasi pertama (SSO; Seedling Seed Orchard) seluas 49,5 ha, dan telah dibangun kebun benih campuran (composite seed orchard) seluas 14,5 ha. Setiap tahunnya, dari areal kebun benih seluas itu, mampu diproduksi benih A. mangium lebih dari 1 ton.

Persemaian
Pada awalnya (uji coba dan pengalaman awal) bibit diproduksi dalam kantong polybag dengan media topsoil, sabut kelapa sawit, dan gambut. Tetapi setelah melalui serangkaian penelitian, kemudian didapatkan container dan bahan yang efektif dan ekonomis, yaitu memakai polytube dan side slit, yang dapat merangsang pertumbuhan akar. Media yang dipakai adalah seresah yang diambil dari lantai hutan tanaman A. mangium dicampur dengan topsoil (perbandingan 70:30) atau sisa kulit A. mangium dari pabrik pulp yang telah dikomposkan.
Bibit dipelihara selama 3 bulan, kemudian dilakukan sortasi (grading). Standar bibit dilakukan agar bibit yang sampai ke lokasi penanaman benar-benar memiliki kualitas yang baik, seragam, mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bibit A. mangium yang berkualitas baik dan diperbolehkan untuk dikirim ke lapangan adalah yang mempunyai tinggi bibit 25-30 cm dan diameter > 3,0 mm, batang keras dan lurus, warna kecoklatan, daun tebal hijau, struktur akar kompak, media tidak pecah, bebas hama dan penyakit serta segar.
Bibit diangkut ke lokasi pertanaman memakai truk atau traktor. Untuk menjaga kualitas bibit, perlu dibuatkan tempat penampungan bibit (TPB) sementara di dekat lokasi pertanaman.

Persiapan lahan
Pada tahap awal pembangunan HTI, lahan alang-alang bertopografi datar/landai (kemiringan <15%),> 22 cm untuk kayu gergajian. Potensi kayu berdiameter >22 cm di Sumatra Selatan (MHP) mencapai 10 - 17% dari tegakan dengan jarak tanam awal 3m X 3m.
2. Membangun tegakan untuk kayu pertukangan melalui proses penjarangan.

Selain untuk kayu konstruksi dan pertukangan, peruntukan kayu A. mangium yang lain adalah sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Hashim et.al. (1998) melaporkan bahwa ketebalan papan partikel kayu A. mangium setara dengan papan partikel kayu karet.
Kayu A. mangium dapat juga diproses menjadi vinir dan kayu lapis. Vinir yang dihasilkan bersifat teguh, halus dan kualitasnya dapat diterima. Studi pembuatan kayu lapis dengan menggunakan perekat phenol formaldehide atau penol resin memberikan kualitas kayu lapis yang dapat diterima atau melebihi persyaratan minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993; Yamamoto, 1998).
Abdul-Kader dan Sahri (1993) juga membuktikan bahwa kayu A. mangium dapat dipakai sebagai bahan MDF yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan MDF dari beberapa spesies di Jepang, seperti Pinus resinosa, Cryptomeria japonica, Chamaecyparis obtusa dan Larix leptolepis. Kayu A. mangium telah digunakan sebagai bahan baku oleh beberapa perusahaan MDF di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan lentur dan geser LVL (laminated veneer lumber) dari kayu A. mangium lebih baik daripada nilai minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993).
Kayu A. mangium telah dicoba untuk pembuatan OSB (oriented strand board) yang hasilnya menunjukkan bahwa stabilitas dimensi dan kekuatannya memenuhi standar persyaratan Jepang (Lim, et.al., 2000)
Pembuatan arang dari kayu A. mangium telah dicoba (Hartoyo, 1993; Nurhayati, 1994; Pari, 1998; Fakultas Kehutanan, UGM 2000; Okimori et.al., 2003), dan berkualitas baik. Dengan diolah menjadi briket arang, nilai kalor dan karbon terikat meningkat, dan hasilnya lebih baik apabila dibandingkan dengan briket batubara (Fakultas Kehutanan UGM, 2000).

Membangun tegakan kayu pertukangan
Pada prinsipnya, silvikultur hutan tanaman untuk menghasilkan kayu pertukangan sama dengan membangun tegakan untuk bahan pulp (hingga umur tanaman 2 tahun). Setelah umur 2 tahun terdapat perbedaan, yaitu adanya kegiatan penjarangan (thinning), pemangkasan cabang (pruning), dan perawatan lanjutan. Secara umum kegiatan silvikultur pembangunan tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun disebutkan pada tabel 3.

Tabel 3. Kegiatan silvikultur untuk membentuk tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun dan perolehan volume yang dicapai
Umur
(th) Kegiatan Pohon tinggal Rerata Diameter (cm) Volume Total
(m3/ha) Vol. Kumulatif Panen (m3/ha)
Tinggal Penjarangan
2 - Penjarangan I (50%)
- Pruning 555 11 30 30 30
3 - Pruning
- Weeding total 555 13 60 30
4 - Penjarangan II (50%) 277 19 76 50 80
10-12 - Pemanenan (100%) 277 35 235 315

Penjarangan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pohon dalam tegakan dan memberikan ruang tumbuh yang cukup untuk memperoleh tegakan berdiameter pohon besar. Pemangkasan cabang dimaksudkan untuk menghilangkan percabangan untuk mengurangi cacat mata kayu (knot) yang berpengaruh pada kualitas kayu yang dihasilkan. Agar tegakan kayu pertukangan berkualitas baik, maka perlu dilakukan tahapan-tahapan, antara lain penentuan petak, kegiatan penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan (Gunawan, 2003).

Penentuan petak
Petak yang ditentukan sebagai calon tegakan kayu pertukangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tanaman telah berumur antara 2 – 3 tahun, tajuk (canopy) sudah saling menutup, diameter (dbh) batang sudah mencapai 9 – 12 cm, dan tinggi mencapai 7 – 9 m.
2. Pohon-pohon didalam Petak memiliki pertumbuhan yang baik (tinggi rata-rata 8 m, diameter rata-rata 11 cm) serta kualitas batang yang baik (lurus, tidak menggarpu (forking) sampai ketinggian 6 m).
3. Luas petak memadai, sehingga hanya diperlukan sedikit jumlah petak untuk mencapai target , dan letaknya mengelompok, agar lebih mudah dalam pelaksanaannya,
4. Aksesibilitas petak baik, yaitu dekat jalan dan tidak terpencil jauh. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pengamatannya.

Penjarangan
Penjarangan dilakukan dalam 2 tahap dalam 1 daur tanaman. Setiap tahap menghilangkan 50% dari populasi yang ada.
Penjarangan tahap pertama, dilakukan saat tanaman umur 2 tahun. Metode yang dipakai adalah selektif dan sistematik. Metode selektif, dilakukan dengan cara memilih tegakan yang mempunyai sifat baik untuk kayu pertukangan, seperti kelurusan batang, ketinggian bebas cabang, diameter batang, dan kesehatan tanaman. Metode sistematik hanya dilakukan pada jalur sarad (setiap jarak 50 m), yaitu menebang seluruh pohon pada jalur sarad. Jalur sarad ini dipakai untuk akses mengeluarkan kayu hasil penjarangan untuk dimanfaatkan dengan tujuan lain (pulp, energi, papan partikel dsb).
Penjarangan tahap kedua dilakukan sewaktu tajuk antar-tanaman sudah saling menutup kembali (tanaman berumur 4 – 5 tahun).
Penebangan (penjarangan) menggunakan chainsaw ukuran kecil, dan dilakukan secara hati-hati karena pola tebangnya tidak teratur. Rebah pohon tebangan diarahkan sedemikian rupa, sehingga tidak merusak tajuk pohon-pohon yang ditinggalkan. Batang hasil penebangan dipotong-potong sesuai kebutuhan untuk dimanfaatkan dan dikumpulkan (secara manual) di pinggir jalur sarad, kemudian dikeluarkan ke TPn (pinggir jalan).

Perawatan lanjutan
Perawatan tanaman setelah penjarangan yang perlu dilakukan adalah kegiatan pemangkasan cabang dan pengendalian gulma (weeding). Pemangkasan cabang dilakukan dua kali; bersamaan penjarangan pertama, dan setahun setelah penjarangan pertama.
A. mangium mempunyai kemampuan self pruning yang sangat rendah, oleh karenanya sangat penting dilakukan pruning untuk memperoleh kayu pertukangan yang baik. Keterlambatan tindakan pruning akan mengakibatkan beberapa hal:
1. Mengurangi sifat keteguhan kayu, karena serat mata kayu relatif tegak lurus serat batang pohon,
2. Menyulitkan pengerjaan karena kerasnya penampang mata kayu,
3. Mengurangi keindahan permukaan kayu, dan
4. Menyebabkan berlubangnya lembaran-lembaran veneer.

Pohon-pohon tinggal harus dipangkas cabangnya menggunakan gergaji pangkas atau gunting pruning. Pemangkasan dilakukan dengan memotong cabang tepat pada leher cabang. Pemangkasan yang meninggalkan sisa cabang, akan menyebabkan sisa cabang tersebut mati dan membusuk yang pada akhirnya menjadi jalan bagi infeksi jamur, disamping akan membuat kayu cacat. Sebaliknya, pemangkasan terlalu dalam akan meninggalkan luka besar yang membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya. Pemangkasan yang tepat akan meninggalkan luka yang kecil dan tanpa sisa cabang, sehingga luka akan cepat tertutup kembali oleh kalus.
Setiap periode pemangkasan, tajuk hidup yang ditinggalkan minimal sebesar 50% dari tinggi pohon. Meninggalkan tajuk kurang dari 50% akan menghambat pertumbuhan diameter pohon. Pada akhirnya nanti diharapkan kayu pertukangan yang dihasilkan memiliki batang bebas mata kayu sampai pada ketinggian 4–6 m. Oleh karena itu pemangkasan cabang dilakukan sampai setinggi 4,2 m dimana 0,2 m adalah cadangan untuk kerusakan dan pecah ujung.
Weeding setelah penjarangan, tidak seintensif seperti 2 tahun pertama. Kalau weeding pada dua tahun pertama bertujuan untuk mengurangi kompetisi dengan gulma, maka kegiatan weeding pasca penjarangan ini lebih ditujukan untuk mepermudah akses inventory dan supervisi, dalam mendapatkan tegakan kayu pertukangan yang berkualitas.

Biaya pembangunan tegakan kayu pertukangan
Pembangunan tegakan A. mangium untuk pertukangan hingga umur 2 tahun sama dengan biaya pembangunan untuk bahan pulp. Tetapi setelah umur 2 tahun diperlukan tambahan biaya, yaitu penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan. Total biaya operasional dari awal hingga siap panen adalah Rp. 2.841.250,-/ha (diluar biaya investasi dan overhead).

Kesimpulan
1. Hutan tanaman merupakan sebuah keniscayaan untuk menyediakan bahan baku industri secara berkelanjutan.
2. Pemilihan jenis-jenis cepat tumbuh dilakukan untuk memenuhi pertimbangan ekonomi, finansial dan tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar. A. mangium merupakan jenis yang memenuhi syarat untuk diusahakan, mudah dibudidayakan, adaptable untuk lahan-lahan marginal, produktif dan responsif terhadap upaya pemuliaan pohon, serta multiguna.
3. Penerapan silvikultur intensif, manipulasi genetik dan pemuliaan pohon, mutlak diperlukan untuk peningkatan riap dan kualitas kayu.
4. Pemilihan jenis cepat tumbuh dan penerapan silvikultur intensif merupakan langkah awal yang harus segera ditempuh untuk memupuk sumberdaya guna membangun kembali kehutanan Indonesia.

Daftar pustaka
Abdul-Kader, R. and Sahri, M. H. 1993. Properties and Utilization. In: Awang, K and Taylor, D. (eds.). Acacia mangium. Growing and utilization. Winrock International and FAO. Bangkok, Thailand.
Arisman, H. 2000. Strategi silvikultur intensif untuk pembangunan hutan tanaman: pengalaman dari hutan tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Dalam: Hardiyanto, E.B. (Ed.). 2000. Prosiding seminar nasional status silvikultur 1999. Peluang dan tantangan menuju produktivitas dan kelestarian sumberdaya hutan jangka panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dwianto, W., Sudijono, Iida, I., Subyakto and Yusuf, S. 2003. Mechanical properties, fire performance and termite resistence of Acacia mangium Willd. In: Baba, K., Honda, Y., Imamura, Y., Kawai, S., Tanaka, F., Umezawa, T. and Dwianto, W. (Eds.). 2003. Proceeding of International Sysposium on Sustainable Utilization of Acacia mangium, October 21-22, 2003. Wood Research Institute and Radio Science Center for Space and Atmosphere. Kyoto. Japan.
Gunawan, R. 2003. Membangun Tegakan Kayu pertukangan. Research and Development News Letter PT. Musi Hutan Persada, No. 08/II, Januari 2003. Tidak dipublikasikan
Hardiyanto, E.B., S. Anshori, and D. Sulistyono. 2003. Early results of site management in Acacia mangium Plantation at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra Indonesia. Paper presented at the Fifth workshop on Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest, 24 February – 1 March 2003, Guangzhou, PR China
Hardiyanto, E.B., Ryantoko, A. and Anshori, S. 2000. Effects of Site management in Acacia mangium Plantations at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra. Dalam: Nambiar, E.K.S., Tiarks, A., Cossalter, C. and Ranger, J. (eds.) 2000. Site management and productivity in tropical plantation forest: a progress report. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. 112 p
Hardiyanto, E.B., Siregar, S.T.H., Wahyono, R., dan Rokhim, M. 2000. Hasil Uji provenans Acacia mangium Umur 5,5 Tahun di Setuntung. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 7. Tidak dipublikasikan
Hashim, R, Yamamoto, H, and Sulaiman, O. 1998. Dimensional stability of Acacia mangium particleboard grown in Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species – Wood Properties and Utilization, penang, Malaysia, 16-18 March 1998.
Lim, N.P., Pek, Y.K., and Korai, H. 2000. Preliminary assesment of Acacia mangium grown in Sarawak, Malaysia for manufacture of oriented strand board. Paper presented at XXI IUFRO World Congress 2000, 7-12 August 2000. Kuala Lumpur.
Oemijati dan Mukmin, F. 2000. Hama dan penyakit potensial Acacia mangium Willd. rotasi kedua. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 8. Tidak dipublikasikan
Okimori, Y., Seki, N., Anshori, S. dan Sulistiyono, D. 2003. Pembuatan arang kayu dari residu tebangan Acacia mangium. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 13 No. 2, Maret 2003. Tidak dipublikasikan
Siregar, S.T.H. dan Khomsatun. 2000. Volume dan bentuk batang Acacia mangium pada uji provenans umur 24 bulan. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 02. Tidak dipublikasikan
Sutigno, P. (Peny.). 2000. Himpunan sari penelitian Mangium dan Tusam. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. 78 p
Tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan akhir penelitian pemanfaatan limbah tebangan Acacia mangium di HPHTI PT. Musi Hutan Persada sebagai arang briket. Kerjasama antara: HPHTI PT. Musi Hutan Persada dan Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Yamamoto, H. 1998. The evaluation of wood qualities and working properties for the end use of Acacia mangium from Sabah, Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species - Wood Properties and Utilization, Penang, Malaysia, 16-18 March 1998.

Sugi Plantation in Nara Japan

Gambar ini adalah hutan tanaman Sugi, diambil oleh yang punya Blog ini (it's me! he he) pada musim panas (Juni) 2004 di Nara -kota kecil tidak begitu jauh dari Kyoto- Negeri Sakura. Jepang mulai mengembangkan hutan tanaman sejak tahun 1840. jenis yang dikembangkan adalah jenis unggulan lokal, yaitu Sugi (Crytomeria japonica). Jenis pohon ini hanya bisa hidup di Jepang, bagian Tengah, dan pernah dicoba dikembangkan di negara tropis, termasuk di Indonesia, tetapi tidak pernah berhasil. Pada Jaman dulu, Sugi merupakan kayu utama Jepang, seperti Jati di Jawa, untuk bahan kayu pertukangan dan pembuatan rumah. Saat ini Jepang mempunyai hutan sekitar 25 juta hektar, dan 13 juta diantaranya adalah hutan tanaman. Mayoritas hutan di Jepang diperuntukkan untuk konservasi, hanya sekitar 30% saja kebutuhan kayu dalam negerinya didapat dari panenan hutan tanaman, selebihnya diimpor dari negara lain, termasuk dari Indonesia. (Saifudin Ansori)

Manmade forest of Shorea javanica in Krui West Lampung

Shorea javanica, masyarakat lokal mengenalnya sebagai Damar mata kucing, dikembangkan secara bijak dan lestari oleh masyarakat Krui Lampung Barat sejak sekitar 4 generasi yang lalu (kira-kira tahun 1870an). Penanaman Damar mata kucing ini diintercroping dengan beberapa jenis pohon lokal, antara lain Durian, duku, dan petai. Damar mata kucing yang dipanen dengan cara penyadapan, dipakai sebagai bahan thinner. Pada saat sekarang ini, jenis pohon ini hampir punah. Manmade forest of Shorea javanica di Krui Lampung Barat ini layak dihargai dan disebut sebagai the best of manmade tropical forest di Indonesia. Beberapa forester dan silviculturist dunia telah mengunjungi dan kagum dengan kearifan lokal ini. Adakah optimisme membangun hutan seperti di Krui ini di lokasi lain? Semua terpulang kepada kita, rimbawan Indonesia!(Saifudin Ansori)

20 months old of Acacia mangium plantation

Umur 20 Bulan bagi tanaman Acacia mangium merupakan umur Dewasa alias mapan (established), dimana pada umur ini, tajuk antar-tanaman mulai menutup. Itu artinya, tanaman tidak perlu dilakukan perawatan (weeding) lagi. Tajuk tanaman menutup akan merubah daur hara terbuka menjadi daur hara tertutup. Sinar matahari pun sedikit sekali bisa langsung masuk ke lantai hutan, dan membuat tumbuhan pengganggu (gulma) menjadi sedikit (Alang-alang pun tidak bisa mampu menyombongkan diri di bawah tegakan ini). Untuk membuat kondisi tanaman seperti pada Gambar ini, diperlukan perlakuan perawatan intensif (dengan meniadakan/menekan gulma), antaralain dengan cara manual (tebas) dan semprot herbisida (glyfosat dan metil metsulfuron). Intensitas perawatan dilakukan setiap 3 bulan sekali, mengingat pertumbuhan gulma sangat cepat di lahan dengan iklim tropis, seperti di Sumatera Selatan. Selepas umur 20 bulan (tajuk tanaman) menutup, tanaman A. mangium tidak perlu dirawat lagi, tinggal menjaganya dari hama dan penyakit serta kebakaran. Pada umur 6 tahun, tanaman seperti ini sudah sangat layak ditebang sebagai bahan baku pulp, dan hasil panen bisa mencapai 300 m3/ha. Tidak percaya? Buktikan sendiri, dan pergilah ke Subanjeriji Sumatera Selatan. (Saifudin Ansori)

Acacia mangium for sawn timber

PERUSAHAAN HTI PERLU LITBANG

PERLUNYA DIVISI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DALAM MENDUKUNG KESUKSESAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN

Sejak tahun 1970an, Indonesia (terutama diluar Jawa) telah mengembangkan hutan tanaman industri (HTI) untuk menghasilkan kayu sebagai bahan pulp dan pertukangan. Saat ini , untuk diluar pulau Jawa, jenis yang paling banyak dikembangkan adalah Acacia mangium. Species ini menjadi pilihan utama karena memiliki karakteristik antara lain:

1. Pertumbuhan cepat,

2. Adaptif pada tanah-tanah dengan tingkat ke-suburan rendah dan kemasaman relatif tinggi,

3. Menghasilkan kayu yang cocok untuk bahan baku pulp dan kertas. Kualitas pulp Acacia mangium setara dengan kualitas kayu Eucalyptus yang telah banyak beredar di pasar pulp dunia,

4. Budidaya A. mangium relatif mudah, mulai dari penanganan benih, persemaian, sampai dengan penanaman di lapangan.

Beberapa perusahaan telah sukses membangun hutan tanaman sekala luas yang tersebar diseluruh pulau, dan yang terluas adalah Sumatera dan Kalimantan. Setiap tahunnya Indonesia telah memproduksi puluhan juta m3 (data detail belum ditemukan). Dengan luasan dan volume kayu yang demikian besar, belum lagi harus mengembangkan kearah yang lain (diversifikasi tanaman maupun produk), maka banyak persoalan teknis yang harus didukung dengan penelitian dan pengembangan.

Tantangan Kedepan

Pada pertengahan 1990an, beberapa perusahaan HTI telah memulai menikmati hasil tanamannya. Hasil pemanenan ini diperlukan, antaralain, untuk memasok industri pulp, dan industri permebelan. Dari luasan penebangan hingga saat ini rata-rata hasil kayu per hektar sebesar 200 m3, (beberapa lokasi di Indonesia). Volume kayu dan luas pemanenan tersebut, diprediksi akan meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan peningkatan kapasitas industri.

Dengan dilakukannya pemanenan kayu, kita harus melakukan replanting pada lahan eks tebangan. Memasuki rotasi kedua dan rotasi selanjutnya itu, kita dihadapkan pada suatu permasalahan; bagaimana membangun rotasi selanjutnya lebih baik dari rotasi pertama.

Untuk meningkatkan hasil dan kualitas tanaman, ke depan perlu dihasilkan inovasi-inovasi, baik sistem maupun teknis membangun hutan tanaman serta pemanfaatan hasilnya. Inovasi-inovasi tersebut antara lain:

1. Bagaimana meningkatkan riap dan atau memperpendek umur tanaman?

2. Teknik silvikultur efektif yang bagaimana yang harus dilakukan?

3. Bagaimana cara mencegah dan mengendalikan hama dan penyakit yang efektif?

4. Kiat-kiat apa yang harus dilakukan untuk proteksi tanaman dari gangguan kebakaran hutan?

5. Manfaat apa saja yang dapat diperoleh dari hasil tanaman selain bahan pulp?

6. Pola apa yang perlu dikembangkan dalam rangka kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan?

Pertanyaan-pertanyaan diatas, sangat mendesak untuk dicari jawabannya. Untuk itulah, melalui Divisi Penelitian dan Pengembangan yang tanggap, cepat dan handal diharapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu segera diketemukan.

Tujuan Penelitian dan Pengembangan

Secara umum tujuan dibentuknya organisasi Penelitian dan Pengembangan adalah:

1. Menjawab permasalahan teknis yang dihadapi dalam pengelolaan HTI.

2. Mencari terobosan dan inovasi-inovasi baru melalui penelitian dalam pengelolaan HTI.

Tugas Penelitian dan Pengembangan

Tugas utama Penelitian dan Pengembangan adalah mencari metode-metode untuk meng-hemat biaya dan meningkatkan pendapatan, dengan menggunakan penyelidikan dan per-cobaan berdasarkan ilmu pengetahuan (ilmiah). Tugas-tugas tersebut meliputi:

1. Mengadakan percobaan

2. Melaksanakan survei

3. Mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

4. Berkomunikasi dengan rekan-rekan di bagian operasional untuk mengetahui permasalahan.

5. Menganalisa dan menyimpulkan hasil-hasil penelitian untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman.

6. Memonitor keadaan tegakan dilapangan dan laju pertumbuhan tanaman.

Hubungan Litbang dengan Unit Operasional

1. Peneliti menyampaikan hasil penelitian kepa-da bagian operasional dalam bentuk; REKOMENDASI dan INFORMASI TEKNIS (Dua pener-bitan dipublikasikan secara routine yaitu Technical Notes dan R&D News Letter).

2. Rekomendasi disusun sehubungan dengan persoalan teknis, termasuk kebijaksanaan operasional. Rekomendasi disajikan kepada Dewan Direksi untuk ditelaah dari berbagai sisi.

3. Rekomendasi yang telah disetujui Dewan Direksi dapat langsung dimasukkan ke dalam standard Operating procedure (SOP).

4. Semua metode operasional disusun dalam SOP, dan harus diikuti oleh Kepala Unit kerja (yang bersangkutan) dan stafnya sebagai paduan pelaksanaan kegiatan di lapangan.

5. Kalau ada persoalan atau muncul masalah yang belum ada dalam SOP, maka Direksi akan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sudah ada (buku, makalah, prosiding konferensi, seminar ataupun secara lisan dari kolega atau perusahaan lain, institusi, dan universitas).

Organisasi, Perencanaan, dan Pelaksanaan

1. Divisi Penelitian dan Pengembangan bias dibagi atas beberapa Bagian, yaitu Bagian Genetika & Pemuliaan Pohon (Seksi Pemuliaan Pohon, Sie Genetika, Sie Persemaian & Perbanyakan, dan Sie Produksi Benih), Bagian Silvikultur (Sie Silvikultur, Sie Tanah & Survei Tanah, dan Sie Hama & Penyakit), Bagian Pertumbuhan & Lingkungan (Sie Pertumbuhan dan Sie Lingkungan), Bagian Hasil Hutan (Sie Hasil Kayu dan Sie Hasil Ikutan), dan Bagian Sosial Ekonomi (Sie Pemberdayaan Masyarakat dan Sie Pengkajian).

2. Namun demikian, semua peneliti saling berkomunikasi dan bekerjasama dalam pelaksanaan program terpadu.

3. Untuk memecahkan masalahnya, peneliti berada di tempat obyek penelitian dan memusatkan perhatian secara terus-menerus, dan sasarannya diarahkan kepada kebutuhan operasional perusahaan.

4. Semua percobaan dan penelitian dirancang dengan baik dan teliti, karena biayanya sangat mahal.

5. Dalam mendukung kegiatannya, peneliti perlu dibantu para Advisor yang telah diakui kredibiltas dan kemampuannya, didatangkan dari perguruan tinggi serta instansi lain, seperti Departemen Kehutanan.

6. Divisi Penelitian dan Pengembangan juga bias melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga dan instansi lain, seperti perguruan tinggi, CIFOR, BIOTROP, OECF, JICA, PUSLITBANGHUT, BTR, ITTO, PUSLITTANAK, Lembaga Swadaya Masyarakat, dsb.

Tabel 1. Seksi dan Bidang Kajian Divisi Litbang

No

Seksi/Bidang Kajian

Bagian

1

Persemaian & Perbanyakan


2

Pemuliaan Pohon

Genetika &

3

Genetika

Pemuliaan Pohon

4

Produksi Benih


5

Silvikultur


6

Hama & Penyakit

Silvikultur

7

Tanah & Survei Tanah


8

Pertumbuhan & Hasil

Pertumbuhan dan

9

Lingkungan

Lingkungan

10

Hasil Kayu

Hasil Hutan

11

Hasil Ikutan


12

Pengkajian Sosial Ekonomi

Sosial Ekonomi

13

Pemberdayaan Masyarakat


14

Adm. & Penyiapan Data


Program Penelitian dan Pengembangan

1. Bagian Genetika dan Pemuliaan Pohon

· Mengadakan tegakan-tegakan sebagai sumber benih dan stek yang akan menghasilkan pohon yang mempunyai sifat diinginkan. Sifat yang diinginkan adalah (1) laju pertumbuhan yang cepat, (2) bentuk batang lurus, (3) titik percabangan tidak terlalu rendah, (4) Berat jenis kayu cocok untuk peruntukannya, (5) Kandungan selulosa tinggi (untuk pulp), dan (6) tahan terhadap serangan hama dan Penyakit.

· Menyediakan benih yang berkualitas bagi Planting Unit

· Mengetahui medium, container, dan jadual pemupukan yang terbaik untuk pembibitan.

· Mengetahui metode yang terbaik dalam perbanyakan vegetatif untuk klon, hibrida, maupun jenis pohon lain yang sulit diperbanyak secara vegetatif.

2. Bagian Silvikultur

· Mengetahui metode-metode silvikultur yang sesuai untuk A. mangium, meliputi persiapan lahan, jarak tanam, pemupukan, penunggalan (singling), pruning, thinning, dan perawatan lainnya.

· Mengetahui metode-metode silvikultur yang sesuai untuk A. mangium, bukan hanya sebagai sumber kayu pulp, tetapi sebagai sumber kayu pertukangan dan kayu veener.

· Mengetahui metode silvikultur yang sesuai untuk jenis pohon selain Acacia mangium.

· Mengetahui metode untuk mencegah penurunan produktivitas jangka panjang.

· Memantau hama dan penyakit

· Mengidentifikasi hama dan penyakit.

· Mengetahui metode pencegahan dan pe-ngendalian hama dan penyakit

· Mengiventarisasi dan memetakan lahan melalui program survei tanah.

· Menyesuaikan jenis pohon, provenances atau klon dengan tempat (site).

· Mencari metode pengelolaan lahan yang dapat meminimalkan laju erosi dan meminimalkan penyusutan mutu air.

3. Bagian Pertumbuhan dan Lingkungan

· Mengetahui laju pertumbuhan dan produktivitas rotasi pertama, produktivitas dalam daur kedua dan seterusnya.

· Membuat tabel volume pohon

· Membandingkan pertumbuhan tegakan per Planting Unit.

· Memantau cuaca dan laju pengaliran sungai serta mutu airnya

· Memantau lingkungan (biologi, fisik dan kimia).

4. Bagian Hasil Hutan

· Mengetahui dan mendapatkan pemanfaatan hasil hutan, baik hasil kayu maupun non kayu.

· Pemanfaatan kayu Acacia mangium selain pulp, misalnya untuk pertukangan (sawn timber), veener, MDF dsb.

5. Bagian Sosial Ekonomi

· Menginventarisasi kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

· Meancari pola kemitraan yang terbaik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar hutan.

Fasilitas Penunjang

Untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, divisi Litbang harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas, yaitu sebagai berikut:

1. Lahan-lahan untuk penelitian (sesuai kebutuhan)

2. Rumah kaca (green house)

3. Misting house

4. Area persemaian

5. Kebun Pangkas (Bank klon)

6. Laboratorium Uji Benih dan Produksi Benih

7. Laboratorium Hama & Penyakit

8. Laboratorium Silvikultur

9. Laboratorium Tanah dan Lingkungan

10. Laboratorium Kultur Jaringan

11. Laboratorium Sosek (Demplot)

12. Laboratorium Hasil Hutan

13. Ruang Penyimpanan Benih

14. Stasiun Pengamatan Cuaca

15. Stasiun Pengamatan Air Sungai

16. Kampus Hutan Alam (Konservasi)

17. Unit Analisa Data

18. Perpustakaan

19. Ruang Diskusi (ekspose)

Didalam pelaksanaan tugasnya, selain mendapatkan masukan dari Advisor dari berbagai Universitas dan Lembaga Penelitian lain, peneliti senantiasa melakukan diskusi dengan kawan-kawan di operasional untuk mengetahui permasalahan teknis yang ada, dan kemudian ditindaklanjuti dengan observasi, percobaan dan penelitian untuk mendapatkan solusinya. Disamping itu, untuk menambah wawasan dan berbagi pengetahuan, para peneliti mestinya juga terlibat aktif didalam kegiatan seminar-seminar atau workshop, baik di dalam maupun luar negeri.(Saifudin Ansori)