27 September 2007

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium

SILVIKULTUR INTENSIF Acacia mangium
UNTUK MEMASOK BAHAN BAKU PULP DAN KAYU PERTUKANGAN JANGKA PENDEK

Saifudin Ansori

Pendahuluan
Hutan alam produksi Indonesia semakin hari semakin menipis potensinya. Bahkan akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan bahwa kondisi hutan alam kita telah rusak sebagai akibat berbagai hal, seperti penebangan liar (illegal logging), perambahan, kebakaran hutan dan konversi menjadi fungsi lain. Di sisi lain, kapasitas terpasang industri perkayuan jauh lebih besar daripada kemampuan hutan alam produksi dalam menghasilkan pasokan kayu untuk memasok keperluan industri.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI), terutama jenis cepat tumbuh (fast growing species), sangat diharapkan kontribusinya, tidak saja sekedar meningkatkan produktivitas hutan yang telah rusak, tetapi sebagai penyeimbang pasokan dan permintaan bahan baku kayu untuk industri dalam jangka pendek. Hasil kayu dari hutan tanaman ini tidak saja diperuntukkan sebagai bahan pulp, tetapi juga dapat diperuntukkan sebagai bahan non pulp seperti kayu gergajian (sawn timber), wood working, veneer, particle board, MDF (medium density fiberboard), energi (bio-fuel) dan sebagainya. Untuk mendapatkan tegakan (kayu) yang berkualitas baik, tentu saja, upaya melalui perlakuan silvikultur intensif mutlak dilakukan.
Saat ini, mayoritas tanaman yang dibudidayakan dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia adalah jenis Acacia mangium. Dipilihnya jenis ini, dengan pertimbangan sebagai berikut:
• Pertumbuhan cepat,
• Adaptif pada tanah-tanah dengan tingkat kesuburan rendah dan kemasaman relatif tinggi,
• Menghasilkan kayu yang cocok untuk bahan baku pulp dan non pulp. Kualitas pulp A. mangium setara dengan kualitas pulp Eucalyptus yang telah banyak beredar di pasar pulp dunia. Kayu A. mangium juga baik untuk bahan kayu pertukangan,
• Budidaya A. mangium relatif mudah, mulai dari penanganan benih, persemaian, sampai dengan penanaman di lapangan,
• Mempunyai respon positif terhadap upaya seleksi, sehingga mudah didapatkan benih unggul.

Pengalaman menyediakan bahan baku pulp dari hutan tanaman Acacia mangium
Pada pertengahan 1990an, beberapa perusahaan HTI telah memulai melakukan pemanenan A. mangiu. Tanaman yang berhasil memerlukan pola silvikultur intensif. Hasil pemanenan, sebagian besar bahklan hamper seluruhnya diperlukan untuk memasok industri pulp. Dari beberapa site didapatkan data bahwa volume komersial rata-rata mencapai 200 m3/ha.
Umur masak tebang A. mangium untuk bahan pulp adalah 8 tahun, tetapi kombinasi umur tebangan dari 6 hingga 10 tahun telah direncanakan dengan maksud menyebar beban pekerjaan berdasarkan lokasi dan kelas umur tegakan. Inventarisasi pra tebang dilakukan setidaknya setahun sebelum penebangan untuk mendapatkan data tentang potensi volume, menentukan jalur tebang dan ekstraksi kayu, serta pembangunan/perbaikan jaringan jalan.
Sistem pemanenan yang dipakai adalah organized felling system. Sistem ini terdiri atas kombinasi tebangan manual memakai chainsaw, pemotongan cabang (triming), pemotongan dengan ukuran sortimen 2,5 m (bucking), penumpukan kayu di tempat (stacking), dan penyaradan kayu (extraction) menggunakan forwarder.
Penebangan dilakukan oleh regu tebang terdiri dari seorang operator chainsaw dibantu oleh tiga orang (helper) untuk mendorong pohon kearah rebah, mengukur (scaling) dan menumpuk (stacking) sortimen di tempat. Untuk memudahkan pengawasan, 15 regu penebang bekerja dalam satu petak tebang (setting tebang) dan dibawah satu kontraktor/pemborong.
Penebangan dirancang menggunakan 5 atau 7 baris pohon, di mana barisan tengah berfungsi sebagai as (sumbu) dan semua pohon direbahkan ke barisan tengah tersebut . Lima baris untuk jarak tanam 3 m, dan 7 baris untuk jarak tanam 2 m. Cabang-cabang dihilangkan, dan kayu dipotong menjadi 2,5 m dengan diameter terkecil 8 cm (dengan kulit). Sisa kayu, cabang-cabang (diameter kurang dari 8 cm) dan daun ditinggal dan ditumpuk sebagai landasan forwarder . Tumpukan residu tebangan ini dimanfaatkan untuk meminimalkan pemadatan (kerusakan) tanah akibat lintasan forwarder.
Ekstraksi kayu dilakukan pada saat kondisi lengas tanah rendah untuk mengurangi efek pemadatan tanah. Kayu-kayu disarad ke tempat penumpukan kayu sementara (TPn), yaitu di pinggir jalan.
Kayu di TPn dapat diangkut ke pabrik sekitar 3 - 6 bulan kemudian. Pengangkutan dilakukan memakai logging truck berkapasitas sekitar 40 m3.

Silvikultur intensif Acacia mangium
Tidak bisa disangsikan lagi, bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman memerlukan penerapan teknik-teknik silvikultur yang intensif untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tegakan secara lestari dan berkesinambungan. Penerapan teknik silvikultur intensif, dimulai ketika memilih spesies yang cocok dan sesuai ditumbuhkan pada lahan yang ada, serta diintegralkan kedalam industri atau peluang pasar. Di dalam operasional kegiatannya, perlu dicari dan ditentukan teknik-teknik yang mudah dan mendukung dalam memperoleh produktivitas yang tinggi, sekaligus meningkatkan mutu lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat (Arisman, 2000). Untuk itu perlunya penataan areal (di awal kegiatan), dan penerapan teknologi dan dukungan ilmu pengetahuan pada setiap komponen kegiatan.

Penataan areal
Sebelum dilakukannya pembangunan tanaman, proses pertama yang dilakukan adalah penataan areal. Secara garis besar areal bisa dibagi menjadi Wilayah-wilayah (berdasarkan letak geografis dan luas areal). Kemudian dari wilayah ini dibagi ke dalam beberapa unit, dengan luas 15.000 - 20.000 ha. Unit dibagi lagi ke dalam blok, dengan luas sekitar 5.000 ha. Kemudian, blok dibagi ke dalam subblok, dengan luas sekitar 1.000 ha, dan sub-blok dibagi kedalam petak seluas 50 ha, arah utara-selatan 1.000 m, dan barat-timur 500 m. Petak merupakan satuan pengelolaan terkecil. Tetapi petak ini bisa terbagi lagi menjadi anak petak.
Pada daur kedua, setelah penebangan daur pertama, dilakukan rekonstruksi petak berdasarkan kondisi geografis, dengan diterapkannya teknologi sistem informasi geografi (geographic information systems).
Untuk mendukung operasional, dibangunlah infrastruktur, seperti jalan utama, jalan cabang, jalan tanam maupun jalan inspeksi, jembatan, dan sebagainya. Areal yang dipakai untuk infrastruktur ini, mencapai sekitar 20 m2/ha. Untuk mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, perlu dipertahankannya kawasan hutan konservasi, zona proteksi (lebung, dan sempadan sungai), serta penanaman jenis lokal dan MPTS (multi purpose trees species).

Sistem silvikultur
Sistem silvikultur yang diterapkan untuk jenis Acacia mangium adalah tebang habis permudaan buatan. Sistem ini sesuai diterapkan pada lahan-lahan terdegradasi untuk tujuan pengusahaan hutan tanaman, dengan memakai teknik silvikultur yang intensif. Oleh karenanya, diperlukan areal yang luas dan relatif kompak, sehingga dapat dibuat tegakan tanaman yang sama umur, seragam, dan berkesinambungan dengan produksi yang tinggi dan kualitas yang baik.
Selain untuk produksi pulp, Acacia mangium juga baik digunakan sebagai kayu pertukangan. Pada petak-petak untuk menghasilkan kayu pertukangan dilakukan penjarangan. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan pulp, particle board atau energi.

Pengadaan Benih
Bibit A. mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi di persemaian. Pada awalnya, digunakan benih dari tegakan benih lokal yang belum terimprove, tetapi selanjutnya harus ditingkatkan dengan menggunakan benih unggul (asal benih maupun famili terpilih) dari hasil program pemuliaan pohon.
Dilihat dari nilai riap, hasil penelitian di Subanjeriji terdapat 5 provenans (dari 20 provenan) yang paling baik adalah berasal dan Papua Niugini dan Queensland, yaitu Oriomo R (PNG), Olive R (QLD), Wipim (PNG), Lake Muarray (PNG), dan Kini (PNG). Tetapi, apabila dilihat dari nilai/indeks kelurusan batang dan persistensi sumbu batang, 5 provenans terbaik adalah Oriomo R (PNG), Wipim (PNG), Muting (Merauke), Kuru (PNG), dan INHUTANI (Pohon plus) (Siregar dan Khomsatun, 2000). Untuk membangun tegakan kayu pertukangan, perlu dipertimbangkan pemakaian benih yang mempunyai indeks kualitas bentuk batang dan kelurusan tinggi, di samping riap pertumbuhannya. Program pemuliaan pohon harus terus dilakukan, seperti upaya peningkatan genetik melalui seleksi provenans dan seedlot, dalam rangka menghasilkan bahan tanam yang terbaik dan paling menguntungkan.
Saat ini, untuk menyebut contoh, di Sumatra Selatan telah terdapat area produksi benih (SPA; Seed Production Area) seluas 96,8 ha, kebun benih semai generasi pertama (SSO; Seedling Seed Orchard) seluas 49,5 ha, dan telah dibangun kebun benih campuran (composite seed orchard) seluas 14,5 ha. Setiap tahunnya, dari areal kebun benih seluas itu, mampu diproduksi benih A. mangium lebih dari 1 ton.

Persemaian
Pada awalnya (uji coba dan pengalaman awal) bibit diproduksi dalam kantong polybag dengan media topsoil, sabut kelapa sawit, dan gambut. Tetapi setelah melalui serangkaian penelitian, kemudian didapatkan container dan bahan yang efektif dan ekonomis, yaitu memakai polytube dan side slit, yang dapat merangsang pertumbuhan akar. Media yang dipakai adalah seresah yang diambil dari lantai hutan tanaman A. mangium dicampur dengan topsoil (perbandingan 70:30) atau sisa kulit A. mangium dari pabrik pulp yang telah dikomposkan.
Bibit dipelihara selama 3 bulan, kemudian dilakukan sortasi (grading). Standar bibit dilakukan agar bibit yang sampai ke lokasi penanaman benar-benar memiliki kualitas yang baik, seragam, mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bibit A. mangium yang berkualitas baik dan diperbolehkan untuk dikirim ke lapangan adalah yang mempunyai tinggi bibit 25-30 cm dan diameter > 3,0 mm, batang keras dan lurus, warna kecoklatan, daun tebal hijau, struktur akar kompak, media tidak pecah, bebas hama dan penyakit serta segar.
Bibit diangkut ke lokasi pertanaman memakai truk atau traktor. Untuk menjaga kualitas bibit, perlu dibuatkan tempat penampungan bibit (TPB) sementara di dekat lokasi pertanaman.

Persiapan lahan
Pada tahap awal pembangunan HTI, lahan alang-alang bertopografi datar/landai (kemiringan <15%),> 22 cm untuk kayu gergajian. Potensi kayu berdiameter >22 cm di Sumatra Selatan (MHP) mencapai 10 - 17% dari tegakan dengan jarak tanam awal 3m X 3m.
2. Membangun tegakan untuk kayu pertukangan melalui proses penjarangan.

Selain untuk kayu konstruksi dan pertukangan, peruntukan kayu A. mangium yang lain adalah sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Hashim et.al. (1998) melaporkan bahwa ketebalan papan partikel kayu A. mangium setara dengan papan partikel kayu karet.
Kayu A. mangium dapat juga diproses menjadi vinir dan kayu lapis. Vinir yang dihasilkan bersifat teguh, halus dan kualitasnya dapat diterima. Studi pembuatan kayu lapis dengan menggunakan perekat phenol formaldehide atau penol resin memberikan kualitas kayu lapis yang dapat diterima atau melebihi persyaratan minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993; Yamamoto, 1998).
Abdul-Kader dan Sahri (1993) juga membuktikan bahwa kayu A. mangium dapat dipakai sebagai bahan MDF yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan MDF dari beberapa spesies di Jepang, seperti Pinus resinosa, Cryptomeria japonica, Chamaecyparis obtusa dan Larix leptolepis. Kayu A. mangium telah digunakan sebagai bahan baku oleh beberapa perusahaan MDF di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan lentur dan geser LVL (laminated veneer lumber) dari kayu A. mangium lebih baik daripada nilai minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993).
Kayu A. mangium telah dicoba untuk pembuatan OSB (oriented strand board) yang hasilnya menunjukkan bahwa stabilitas dimensi dan kekuatannya memenuhi standar persyaratan Jepang (Lim, et.al., 2000)
Pembuatan arang dari kayu A. mangium telah dicoba (Hartoyo, 1993; Nurhayati, 1994; Pari, 1998; Fakultas Kehutanan, UGM 2000; Okimori et.al., 2003), dan berkualitas baik. Dengan diolah menjadi briket arang, nilai kalor dan karbon terikat meningkat, dan hasilnya lebih baik apabila dibandingkan dengan briket batubara (Fakultas Kehutanan UGM, 2000).

Membangun tegakan kayu pertukangan
Pada prinsipnya, silvikultur hutan tanaman untuk menghasilkan kayu pertukangan sama dengan membangun tegakan untuk bahan pulp (hingga umur tanaman 2 tahun). Setelah umur 2 tahun terdapat perbedaan, yaitu adanya kegiatan penjarangan (thinning), pemangkasan cabang (pruning), dan perawatan lanjutan. Secara umum kegiatan silvikultur pembangunan tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun disebutkan pada tabel 3.

Tabel 3. Kegiatan silvikultur untuk membentuk tegakan kayu pertukangan setelah umur 2 tahun dan perolehan volume yang dicapai
Umur
(th) Kegiatan Pohon tinggal Rerata Diameter (cm) Volume Total
(m3/ha) Vol. Kumulatif Panen (m3/ha)
Tinggal Penjarangan
2 - Penjarangan I (50%)
- Pruning 555 11 30 30 30
3 - Pruning
- Weeding total 555 13 60 30
4 - Penjarangan II (50%) 277 19 76 50 80
10-12 - Pemanenan (100%) 277 35 235 315

Penjarangan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pohon dalam tegakan dan memberikan ruang tumbuh yang cukup untuk memperoleh tegakan berdiameter pohon besar. Pemangkasan cabang dimaksudkan untuk menghilangkan percabangan untuk mengurangi cacat mata kayu (knot) yang berpengaruh pada kualitas kayu yang dihasilkan. Agar tegakan kayu pertukangan berkualitas baik, maka perlu dilakukan tahapan-tahapan, antara lain penentuan petak, kegiatan penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan (Gunawan, 2003).

Penentuan petak
Petak yang ditentukan sebagai calon tegakan kayu pertukangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tanaman telah berumur antara 2 – 3 tahun, tajuk (canopy) sudah saling menutup, diameter (dbh) batang sudah mencapai 9 – 12 cm, dan tinggi mencapai 7 – 9 m.
2. Pohon-pohon didalam Petak memiliki pertumbuhan yang baik (tinggi rata-rata 8 m, diameter rata-rata 11 cm) serta kualitas batang yang baik (lurus, tidak menggarpu (forking) sampai ketinggian 6 m).
3. Luas petak memadai, sehingga hanya diperlukan sedikit jumlah petak untuk mencapai target , dan letaknya mengelompok, agar lebih mudah dalam pelaksanaannya,
4. Aksesibilitas petak baik, yaitu dekat jalan dan tidak terpencil jauh. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan pengamatannya.

Penjarangan
Penjarangan dilakukan dalam 2 tahap dalam 1 daur tanaman. Setiap tahap menghilangkan 50% dari populasi yang ada.
Penjarangan tahap pertama, dilakukan saat tanaman umur 2 tahun. Metode yang dipakai adalah selektif dan sistematik. Metode selektif, dilakukan dengan cara memilih tegakan yang mempunyai sifat baik untuk kayu pertukangan, seperti kelurusan batang, ketinggian bebas cabang, diameter batang, dan kesehatan tanaman. Metode sistematik hanya dilakukan pada jalur sarad (setiap jarak 50 m), yaitu menebang seluruh pohon pada jalur sarad. Jalur sarad ini dipakai untuk akses mengeluarkan kayu hasil penjarangan untuk dimanfaatkan dengan tujuan lain (pulp, energi, papan partikel dsb).
Penjarangan tahap kedua dilakukan sewaktu tajuk antar-tanaman sudah saling menutup kembali (tanaman berumur 4 – 5 tahun).
Penebangan (penjarangan) menggunakan chainsaw ukuran kecil, dan dilakukan secara hati-hati karena pola tebangnya tidak teratur. Rebah pohon tebangan diarahkan sedemikian rupa, sehingga tidak merusak tajuk pohon-pohon yang ditinggalkan. Batang hasil penebangan dipotong-potong sesuai kebutuhan untuk dimanfaatkan dan dikumpulkan (secara manual) di pinggir jalur sarad, kemudian dikeluarkan ke TPn (pinggir jalan).

Perawatan lanjutan
Perawatan tanaman setelah penjarangan yang perlu dilakukan adalah kegiatan pemangkasan cabang dan pengendalian gulma (weeding). Pemangkasan cabang dilakukan dua kali; bersamaan penjarangan pertama, dan setahun setelah penjarangan pertama.
A. mangium mempunyai kemampuan self pruning yang sangat rendah, oleh karenanya sangat penting dilakukan pruning untuk memperoleh kayu pertukangan yang baik. Keterlambatan tindakan pruning akan mengakibatkan beberapa hal:
1. Mengurangi sifat keteguhan kayu, karena serat mata kayu relatif tegak lurus serat batang pohon,
2. Menyulitkan pengerjaan karena kerasnya penampang mata kayu,
3. Mengurangi keindahan permukaan kayu, dan
4. Menyebabkan berlubangnya lembaran-lembaran veneer.

Pohon-pohon tinggal harus dipangkas cabangnya menggunakan gergaji pangkas atau gunting pruning. Pemangkasan dilakukan dengan memotong cabang tepat pada leher cabang. Pemangkasan yang meninggalkan sisa cabang, akan menyebabkan sisa cabang tersebut mati dan membusuk yang pada akhirnya menjadi jalan bagi infeksi jamur, disamping akan membuat kayu cacat. Sebaliknya, pemangkasan terlalu dalam akan meninggalkan luka besar yang membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya. Pemangkasan yang tepat akan meninggalkan luka yang kecil dan tanpa sisa cabang, sehingga luka akan cepat tertutup kembali oleh kalus.
Setiap periode pemangkasan, tajuk hidup yang ditinggalkan minimal sebesar 50% dari tinggi pohon. Meninggalkan tajuk kurang dari 50% akan menghambat pertumbuhan diameter pohon. Pada akhirnya nanti diharapkan kayu pertukangan yang dihasilkan memiliki batang bebas mata kayu sampai pada ketinggian 4–6 m. Oleh karena itu pemangkasan cabang dilakukan sampai setinggi 4,2 m dimana 0,2 m adalah cadangan untuk kerusakan dan pecah ujung.
Weeding setelah penjarangan, tidak seintensif seperti 2 tahun pertama. Kalau weeding pada dua tahun pertama bertujuan untuk mengurangi kompetisi dengan gulma, maka kegiatan weeding pasca penjarangan ini lebih ditujukan untuk mepermudah akses inventory dan supervisi, dalam mendapatkan tegakan kayu pertukangan yang berkualitas.

Biaya pembangunan tegakan kayu pertukangan
Pembangunan tegakan A. mangium untuk pertukangan hingga umur 2 tahun sama dengan biaya pembangunan untuk bahan pulp. Tetapi setelah umur 2 tahun diperlukan tambahan biaya, yaitu penjarangan, pemangkasan cabang dan perawatan. Total biaya operasional dari awal hingga siap panen adalah Rp. 2.841.250,-/ha (diluar biaya investasi dan overhead).

Kesimpulan
1. Hutan tanaman merupakan sebuah keniscayaan untuk menyediakan bahan baku industri secara berkelanjutan.
2. Pemilihan jenis-jenis cepat tumbuh dilakukan untuk memenuhi pertimbangan ekonomi, finansial dan tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar. A. mangium merupakan jenis yang memenuhi syarat untuk diusahakan, mudah dibudidayakan, adaptable untuk lahan-lahan marginal, produktif dan responsif terhadap upaya pemuliaan pohon, serta multiguna.
3. Penerapan silvikultur intensif, manipulasi genetik dan pemuliaan pohon, mutlak diperlukan untuk peningkatan riap dan kualitas kayu.
4. Pemilihan jenis cepat tumbuh dan penerapan silvikultur intensif merupakan langkah awal yang harus segera ditempuh untuk memupuk sumberdaya guna membangun kembali kehutanan Indonesia.

Daftar pustaka
Abdul-Kader, R. and Sahri, M. H. 1993. Properties and Utilization. In: Awang, K and Taylor, D. (eds.). Acacia mangium. Growing and utilization. Winrock International and FAO. Bangkok, Thailand.
Arisman, H. 2000. Strategi silvikultur intensif untuk pembangunan hutan tanaman: pengalaman dari hutan tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Dalam: Hardiyanto, E.B. (Ed.). 2000. Prosiding seminar nasional status silvikultur 1999. Peluang dan tantangan menuju produktivitas dan kelestarian sumberdaya hutan jangka panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Dwianto, W., Sudijono, Iida, I., Subyakto and Yusuf, S. 2003. Mechanical properties, fire performance and termite resistence of Acacia mangium Willd. In: Baba, K., Honda, Y., Imamura, Y., Kawai, S., Tanaka, F., Umezawa, T. and Dwianto, W. (Eds.). 2003. Proceeding of International Sysposium on Sustainable Utilization of Acacia mangium, October 21-22, 2003. Wood Research Institute and Radio Science Center for Space and Atmosphere. Kyoto. Japan.
Gunawan, R. 2003. Membangun Tegakan Kayu pertukangan. Research and Development News Letter PT. Musi Hutan Persada, No. 08/II, Januari 2003. Tidak dipublikasikan
Hardiyanto, E.B., S. Anshori, and D. Sulistyono. 2003. Early results of site management in Acacia mangium Plantation at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra Indonesia. Paper presented at the Fifth workshop on Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest, 24 February – 1 March 2003, Guangzhou, PR China
Hardiyanto, E.B., Ryantoko, A. and Anshori, S. 2000. Effects of Site management in Acacia mangium Plantations at PT. Musi Hutan Persada South Sumatra. Dalam: Nambiar, E.K.S., Tiarks, A., Cossalter, C. and Ranger, J. (eds.) 2000. Site management and productivity in tropical plantation forest: a progress report. Center for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. 112 p
Hardiyanto, E.B., Siregar, S.T.H., Wahyono, R., dan Rokhim, M. 2000. Hasil Uji provenans Acacia mangium Umur 5,5 Tahun di Setuntung. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 7. Tidak dipublikasikan
Hashim, R, Yamamoto, H, and Sulaiman, O. 1998. Dimensional stability of Acacia mangium particleboard grown in Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species – Wood Properties and Utilization, penang, Malaysia, 16-18 March 1998.
Lim, N.P., Pek, Y.K., and Korai, H. 2000. Preliminary assesment of Acacia mangium grown in Sarawak, Malaysia for manufacture of oriented strand board. Paper presented at XXI IUFRO World Congress 2000, 7-12 August 2000. Kuala Lumpur.
Oemijati dan Mukmin, F. 2000. Hama dan penyakit potensial Acacia mangium Willd. rotasi kedua. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 8. Tidak dipublikasikan
Okimori, Y., Seki, N., Anshori, S. dan Sulistiyono, D. 2003. Pembuatan arang kayu dari residu tebangan Acacia mangium. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 13 No. 2, Maret 2003. Tidak dipublikasikan
Siregar, S.T.H. dan Khomsatun. 2000. Volume dan bentuk batang Acacia mangium pada uji provenans umur 24 bulan. Technical Note R&D PT. Musi Hutan Persada. Volume 10 No. 02. Tidak dipublikasikan
Sutigno, P. (Peny.). 2000. Himpunan sari penelitian Mangium dan Tusam. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. 78 p
Tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan akhir penelitian pemanfaatan limbah tebangan Acacia mangium di HPHTI PT. Musi Hutan Persada sebagai arang briket. Kerjasama antara: HPHTI PT. Musi Hutan Persada dan Fakultas Kehutanan UGM. Tidak dipublikasikan.
Yamamoto, H. 1998. The evaluation of wood qualities and working properties for the end use of Acacia mangium from Sabah, Malaysia. Paper presented at International Conference on Acacia Species - Wood Properties and Utilization, Penang, Malaysia, 16-18 March 1998.

Sugi Plantation in Nara Japan

Gambar ini adalah hutan tanaman Sugi, diambil oleh yang punya Blog ini (it's me! he he) pada musim panas (Juni) 2004 di Nara -kota kecil tidak begitu jauh dari Kyoto- Negeri Sakura. Jepang mulai mengembangkan hutan tanaman sejak tahun 1840. jenis yang dikembangkan adalah jenis unggulan lokal, yaitu Sugi (Crytomeria japonica). Jenis pohon ini hanya bisa hidup di Jepang, bagian Tengah, dan pernah dicoba dikembangkan di negara tropis, termasuk di Indonesia, tetapi tidak pernah berhasil. Pada Jaman dulu, Sugi merupakan kayu utama Jepang, seperti Jati di Jawa, untuk bahan kayu pertukangan dan pembuatan rumah. Saat ini Jepang mempunyai hutan sekitar 25 juta hektar, dan 13 juta diantaranya adalah hutan tanaman. Mayoritas hutan di Jepang diperuntukkan untuk konservasi, hanya sekitar 30% saja kebutuhan kayu dalam negerinya didapat dari panenan hutan tanaman, selebihnya diimpor dari negara lain, termasuk dari Indonesia. (Saifudin Ansori)

Manmade forest of Shorea javanica in Krui West Lampung

Shorea javanica, masyarakat lokal mengenalnya sebagai Damar mata kucing, dikembangkan secara bijak dan lestari oleh masyarakat Krui Lampung Barat sejak sekitar 4 generasi yang lalu (kira-kira tahun 1870an). Penanaman Damar mata kucing ini diintercroping dengan beberapa jenis pohon lokal, antara lain Durian, duku, dan petai. Damar mata kucing yang dipanen dengan cara penyadapan, dipakai sebagai bahan thinner. Pada saat sekarang ini, jenis pohon ini hampir punah. Manmade forest of Shorea javanica di Krui Lampung Barat ini layak dihargai dan disebut sebagai the best of manmade tropical forest di Indonesia. Beberapa forester dan silviculturist dunia telah mengunjungi dan kagum dengan kearifan lokal ini. Adakah optimisme membangun hutan seperti di Krui ini di lokasi lain? Semua terpulang kepada kita, rimbawan Indonesia!(Saifudin Ansori)

20 months old of Acacia mangium plantation

Umur 20 Bulan bagi tanaman Acacia mangium merupakan umur Dewasa alias mapan (established), dimana pada umur ini, tajuk antar-tanaman mulai menutup. Itu artinya, tanaman tidak perlu dilakukan perawatan (weeding) lagi. Tajuk tanaman menutup akan merubah daur hara terbuka menjadi daur hara tertutup. Sinar matahari pun sedikit sekali bisa langsung masuk ke lantai hutan, dan membuat tumbuhan pengganggu (gulma) menjadi sedikit (Alang-alang pun tidak bisa mampu menyombongkan diri di bawah tegakan ini). Untuk membuat kondisi tanaman seperti pada Gambar ini, diperlukan perlakuan perawatan intensif (dengan meniadakan/menekan gulma), antaralain dengan cara manual (tebas) dan semprot herbisida (glyfosat dan metil metsulfuron). Intensitas perawatan dilakukan setiap 3 bulan sekali, mengingat pertumbuhan gulma sangat cepat di lahan dengan iklim tropis, seperti di Sumatera Selatan. Selepas umur 20 bulan (tajuk tanaman) menutup, tanaman A. mangium tidak perlu dirawat lagi, tinggal menjaganya dari hama dan penyakit serta kebakaran. Pada umur 6 tahun, tanaman seperti ini sudah sangat layak ditebang sebagai bahan baku pulp, dan hasil panen bisa mencapai 300 m3/ha. Tidak percaya? Buktikan sendiri, dan pergilah ke Subanjeriji Sumatera Selatan. (Saifudin Ansori)

Acacia mangium for sawn timber

PERUSAHAAN HTI PERLU LITBANG

PERLUNYA DIVISI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DALAM MENDUKUNG KESUKSESAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN

Sejak tahun 1970an, Indonesia (terutama diluar Jawa) telah mengembangkan hutan tanaman industri (HTI) untuk menghasilkan kayu sebagai bahan pulp dan pertukangan. Saat ini , untuk diluar pulau Jawa, jenis yang paling banyak dikembangkan adalah Acacia mangium. Species ini menjadi pilihan utama karena memiliki karakteristik antara lain:

1. Pertumbuhan cepat,

2. Adaptif pada tanah-tanah dengan tingkat ke-suburan rendah dan kemasaman relatif tinggi,

3. Menghasilkan kayu yang cocok untuk bahan baku pulp dan kertas. Kualitas pulp Acacia mangium setara dengan kualitas kayu Eucalyptus yang telah banyak beredar di pasar pulp dunia,

4. Budidaya A. mangium relatif mudah, mulai dari penanganan benih, persemaian, sampai dengan penanaman di lapangan.

Beberapa perusahaan telah sukses membangun hutan tanaman sekala luas yang tersebar diseluruh pulau, dan yang terluas adalah Sumatera dan Kalimantan. Setiap tahunnya Indonesia telah memproduksi puluhan juta m3 (data detail belum ditemukan). Dengan luasan dan volume kayu yang demikian besar, belum lagi harus mengembangkan kearah yang lain (diversifikasi tanaman maupun produk), maka banyak persoalan teknis yang harus didukung dengan penelitian dan pengembangan.

Tantangan Kedepan

Pada pertengahan 1990an, beberapa perusahaan HTI telah memulai menikmati hasil tanamannya. Hasil pemanenan ini diperlukan, antaralain, untuk memasok industri pulp, dan industri permebelan. Dari luasan penebangan hingga saat ini rata-rata hasil kayu per hektar sebesar 200 m3, (beberapa lokasi di Indonesia). Volume kayu dan luas pemanenan tersebut, diprediksi akan meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan peningkatan kapasitas industri.

Dengan dilakukannya pemanenan kayu, kita harus melakukan replanting pada lahan eks tebangan. Memasuki rotasi kedua dan rotasi selanjutnya itu, kita dihadapkan pada suatu permasalahan; bagaimana membangun rotasi selanjutnya lebih baik dari rotasi pertama.

Untuk meningkatkan hasil dan kualitas tanaman, ke depan perlu dihasilkan inovasi-inovasi, baik sistem maupun teknis membangun hutan tanaman serta pemanfaatan hasilnya. Inovasi-inovasi tersebut antara lain:

1. Bagaimana meningkatkan riap dan atau memperpendek umur tanaman?

2. Teknik silvikultur efektif yang bagaimana yang harus dilakukan?

3. Bagaimana cara mencegah dan mengendalikan hama dan penyakit yang efektif?

4. Kiat-kiat apa yang harus dilakukan untuk proteksi tanaman dari gangguan kebakaran hutan?

5. Manfaat apa saja yang dapat diperoleh dari hasil tanaman selain bahan pulp?

6. Pola apa yang perlu dikembangkan dalam rangka kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan?

Pertanyaan-pertanyaan diatas, sangat mendesak untuk dicari jawabannya. Untuk itulah, melalui Divisi Penelitian dan Pengembangan yang tanggap, cepat dan handal diharapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu segera diketemukan.

Tujuan Penelitian dan Pengembangan

Secara umum tujuan dibentuknya organisasi Penelitian dan Pengembangan adalah:

1. Menjawab permasalahan teknis yang dihadapi dalam pengelolaan HTI.

2. Mencari terobosan dan inovasi-inovasi baru melalui penelitian dalam pengelolaan HTI.

Tugas Penelitian dan Pengembangan

Tugas utama Penelitian dan Pengembangan adalah mencari metode-metode untuk meng-hemat biaya dan meningkatkan pendapatan, dengan menggunakan penyelidikan dan per-cobaan berdasarkan ilmu pengetahuan (ilmiah). Tugas-tugas tersebut meliputi:

1. Mengadakan percobaan

2. Melaksanakan survei

3. Mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

4. Berkomunikasi dengan rekan-rekan di bagian operasional untuk mengetahui permasalahan.

5. Menganalisa dan menyimpulkan hasil-hasil penelitian untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman.

6. Memonitor keadaan tegakan dilapangan dan laju pertumbuhan tanaman.

Hubungan Litbang dengan Unit Operasional

1. Peneliti menyampaikan hasil penelitian kepa-da bagian operasional dalam bentuk; REKOMENDASI dan INFORMASI TEKNIS (Dua pener-bitan dipublikasikan secara routine yaitu Technical Notes dan R&D News Letter).

2. Rekomendasi disusun sehubungan dengan persoalan teknis, termasuk kebijaksanaan operasional. Rekomendasi disajikan kepada Dewan Direksi untuk ditelaah dari berbagai sisi.

3. Rekomendasi yang telah disetujui Dewan Direksi dapat langsung dimasukkan ke dalam standard Operating procedure (SOP).

4. Semua metode operasional disusun dalam SOP, dan harus diikuti oleh Kepala Unit kerja (yang bersangkutan) dan stafnya sebagai paduan pelaksanaan kegiatan di lapangan.

5. Kalau ada persoalan atau muncul masalah yang belum ada dalam SOP, maka Direksi akan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sudah ada (buku, makalah, prosiding konferensi, seminar ataupun secara lisan dari kolega atau perusahaan lain, institusi, dan universitas).

Organisasi, Perencanaan, dan Pelaksanaan

1. Divisi Penelitian dan Pengembangan bias dibagi atas beberapa Bagian, yaitu Bagian Genetika & Pemuliaan Pohon (Seksi Pemuliaan Pohon, Sie Genetika, Sie Persemaian & Perbanyakan, dan Sie Produksi Benih), Bagian Silvikultur (Sie Silvikultur, Sie Tanah & Survei Tanah, dan Sie Hama & Penyakit), Bagian Pertumbuhan & Lingkungan (Sie Pertumbuhan dan Sie Lingkungan), Bagian Hasil Hutan (Sie Hasil Kayu dan Sie Hasil Ikutan), dan Bagian Sosial Ekonomi (Sie Pemberdayaan Masyarakat dan Sie Pengkajian).

2. Namun demikian, semua peneliti saling berkomunikasi dan bekerjasama dalam pelaksanaan program terpadu.

3. Untuk memecahkan masalahnya, peneliti berada di tempat obyek penelitian dan memusatkan perhatian secara terus-menerus, dan sasarannya diarahkan kepada kebutuhan operasional perusahaan.

4. Semua percobaan dan penelitian dirancang dengan baik dan teliti, karena biayanya sangat mahal.

5. Dalam mendukung kegiatannya, peneliti perlu dibantu para Advisor yang telah diakui kredibiltas dan kemampuannya, didatangkan dari perguruan tinggi serta instansi lain, seperti Departemen Kehutanan.

6. Divisi Penelitian dan Pengembangan juga bias melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga dan instansi lain, seperti perguruan tinggi, CIFOR, BIOTROP, OECF, JICA, PUSLITBANGHUT, BTR, ITTO, PUSLITTANAK, Lembaga Swadaya Masyarakat, dsb.

Tabel 1. Seksi dan Bidang Kajian Divisi Litbang

No

Seksi/Bidang Kajian

Bagian

1

Persemaian & Perbanyakan


2

Pemuliaan Pohon

Genetika &

3

Genetika

Pemuliaan Pohon

4

Produksi Benih


5

Silvikultur


6

Hama & Penyakit

Silvikultur

7

Tanah & Survei Tanah


8

Pertumbuhan & Hasil

Pertumbuhan dan

9

Lingkungan

Lingkungan

10

Hasil Kayu

Hasil Hutan

11

Hasil Ikutan


12

Pengkajian Sosial Ekonomi

Sosial Ekonomi

13

Pemberdayaan Masyarakat


14

Adm. & Penyiapan Data


Program Penelitian dan Pengembangan

1. Bagian Genetika dan Pemuliaan Pohon

· Mengadakan tegakan-tegakan sebagai sumber benih dan stek yang akan menghasilkan pohon yang mempunyai sifat diinginkan. Sifat yang diinginkan adalah (1) laju pertumbuhan yang cepat, (2) bentuk batang lurus, (3) titik percabangan tidak terlalu rendah, (4) Berat jenis kayu cocok untuk peruntukannya, (5) Kandungan selulosa tinggi (untuk pulp), dan (6) tahan terhadap serangan hama dan Penyakit.

· Menyediakan benih yang berkualitas bagi Planting Unit

· Mengetahui medium, container, dan jadual pemupukan yang terbaik untuk pembibitan.

· Mengetahui metode yang terbaik dalam perbanyakan vegetatif untuk klon, hibrida, maupun jenis pohon lain yang sulit diperbanyak secara vegetatif.

2. Bagian Silvikultur

· Mengetahui metode-metode silvikultur yang sesuai untuk A. mangium, meliputi persiapan lahan, jarak tanam, pemupukan, penunggalan (singling), pruning, thinning, dan perawatan lainnya.

· Mengetahui metode-metode silvikultur yang sesuai untuk A. mangium, bukan hanya sebagai sumber kayu pulp, tetapi sebagai sumber kayu pertukangan dan kayu veener.

· Mengetahui metode silvikultur yang sesuai untuk jenis pohon selain Acacia mangium.

· Mengetahui metode untuk mencegah penurunan produktivitas jangka panjang.

· Memantau hama dan penyakit

· Mengidentifikasi hama dan penyakit.

· Mengetahui metode pencegahan dan pe-ngendalian hama dan penyakit

· Mengiventarisasi dan memetakan lahan melalui program survei tanah.

· Menyesuaikan jenis pohon, provenances atau klon dengan tempat (site).

· Mencari metode pengelolaan lahan yang dapat meminimalkan laju erosi dan meminimalkan penyusutan mutu air.

3. Bagian Pertumbuhan dan Lingkungan

· Mengetahui laju pertumbuhan dan produktivitas rotasi pertama, produktivitas dalam daur kedua dan seterusnya.

· Membuat tabel volume pohon

· Membandingkan pertumbuhan tegakan per Planting Unit.

· Memantau cuaca dan laju pengaliran sungai serta mutu airnya

· Memantau lingkungan (biologi, fisik dan kimia).

4. Bagian Hasil Hutan

· Mengetahui dan mendapatkan pemanfaatan hasil hutan, baik hasil kayu maupun non kayu.

· Pemanfaatan kayu Acacia mangium selain pulp, misalnya untuk pertukangan (sawn timber), veener, MDF dsb.

5. Bagian Sosial Ekonomi

· Menginventarisasi kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

· Meancari pola kemitraan yang terbaik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar hutan.

Fasilitas Penunjang

Untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, divisi Litbang harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas, yaitu sebagai berikut:

1. Lahan-lahan untuk penelitian (sesuai kebutuhan)

2. Rumah kaca (green house)

3. Misting house

4. Area persemaian

5. Kebun Pangkas (Bank klon)

6. Laboratorium Uji Benih dan Produksi Benih

7. Laboratorium Hama & Penyakit

8. Laboratorium Silvikultur

9. Laboratorium Tanah dan Lingkungan

10. Laboratorium Kultur Jaringan

11. Laboratorium Sosek (Demplot)

12. Laboratorium Hasil Hutan

13. Ruang Penyimpanan Benih

14. Stasiun Pengamatan Cuaca

15. Stasiun Pengamatan Air Sungai

16. Kampus Hutan Alam (Konservasi)

17. Unit Analisa Data

18. Perpustakaan

19. Ruang Diskusi (ekspose)

Didalam pelaksanaan tugasnya, selain mendapatkan masukan dari Advisor dari berbagai Universitas dan Lembaga Penelitian lain, peneliti senantiasa melakukan diskusi dengan kawan-kawan di operasional untuk mengetahui permasalahan teknis yang ada, dan kemudian ditindaklanjuti dengan observasi, percobaan dan penelitian untuk mendapatkan solusinya. Disamping itu, untuk menambah wawasan dan berbagi pengetahuan, para peneliti mestinya juga terlibat aktif didalam kegiatan seminar-seminar atau workshop, baik di dalam maupun luar negeri.(Saifudin Ansori)

LAPANGAN DAN LAPTOP

"Kembali ke laptop!" Lebih dari separuh penduduk Indonesia, saya kira, tidak asing dengan kata-kata ini. Dipopulerkan oleh Thukul Arwana, wong Katrok, yang beken dan sukses berduit dengan banyolan dan menertawakan dirinya sendiri, yang ndeso dan 'bertampang tidak tampan'. Namun, dibalik itu, Thukul Arwana perlu diacungi jempol dan dijadikan contoh, bahwa walaupun wong ndeso (berkonotasi dengan ketidakmodernan) dan tidak rupawan, tetapi ternyata bisa sukses dan mampu menyesuaikan diri dengan atribut kemodernan, seperti laptop, PDA, internet, email dan Bahasa Inggris. Bahkan melebihi kesuksesan wong Kota yang identik dengan kemajuan.
Begitu pun rimbawan. Sungguhpun hari-harinya hidup di tengah hutan, tetapi laptop mampu menjembatani dunia luar bahkan tak terbatas dengan akses internet. Kerja boleh di hutan, tetapi pengetahuan terkini tak boleh ketinggalan. Think globally, act locally..

26 September 2007

WEED, WEEDING DAN TANAMAN

WEED, WEEDING DAN TANAMAN

Kata ‘weed’ mempunyai arti rumput liar. Dalam sistem budidaya tanaman, rumput liar yang tumbuh di lahan tanaman dinamakan gulma. Akhiran ing dalam kata weeding, menambah arti (dalam bahasa Indonesia), yaitu penyiangan atau pengendalian gulma. Gulma dimaksud adalah jenis tumbuhan bawah (tumbuhan muda) dan rumput (pendek di permukaan tanah maupun yang membelit) di sekitar tanaman pokok, selagi tanaman pokok tersebut masih muda.

Pengendalian gulma dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman pokok tidak terhambat atau tersaingi dalam memperoleh faktor yang mengoptimalkan pertumbuhan, seperti unsur hara, oleh tumbuhan liar. Disamping itu, penyiangan gulma dapat mengurangi kelembaban mikro di sekitar tanaman, sehingga mampu mengurangi berkembangnya hama dan jamur yang dapat merugikan tanaman pokok.

Beberapa silviculturist memakai istilah weed management (pengelolaan gulma) untuk menggantikan kata weeding.

Aktifitas weeding dalam silvikultur hutan tanaman, hanya dilakukan hingga tajuk (crown) tanaman menutup. Dalam pertanaman Acacia mangium, tanaman yang baik akan terjadi penutupan tajuk (pada jarak tanam 3 X 3 m) pada umur 2 tahun. Penutupan tajuk akan menghambat bahkan meniadakan pertumbuhan gulma. Sehingga, diharapkan tanaman berumur lebih dari 2 tahun tidak perlu dilakukan weeding. Selanjutnya, pada tanaman berumur lebih dari 2 tahun, sangat sedikit aktifitas berkaitan dengan tumbuhan bawah. Bahkan tumbuhan bawah ini diharapkan/dibiarkan tumbuh diantara tanaman pokok.

Tidak seperti pada tanaman pertanian atau perkebunan, weeding pada hutan tanaman tidak terlalu intensif dan “bersih”. Weeding pada hutan tanaman perlu dilakukan selagi tanaman masih muda, ketika tanaman tersebut beradaptasi dan membutuhkan hara untuk pertumbuhannya. Justru setelah tanaman mampu tumbuh (biasanya setelah 4 tahun), pada hutan tanaman diharapkan muncul tumbuhan lain disekitar tanaman, untuk tujuan biodiversitas. Hal ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan keaneka-ragaman hayati (konservasi) dan mampu mencegah timbulnya wabah hama dan penyakit yang disebabkan oleh sistem monokultur.

Dengan mempertahankan keanekaragaman tumbuhan didalam hutan tanaman tersebut, sebenarnya mampu menepis anggapan bahwa HTI yang monokultur (sering berkonotasi negatif), sebenarnya juga “bukan monokultur”. Oleh karenanya, dengan alasan inilah, sebagian silviculturist sering memakai istilah vegetation management.

Cara Pengendalian Gulma

Ada beberapa cara pengendalian gulma, yaitu secara manual, secara mekanik, dan secara kimiawi. Di Sumatera Selatan, telah dikenal pengendalian gulma secara manual dan secara kimiawi. Dalam satu daur, pengendalian gulma dilakukan intensif 3 bulan sekali hingga umur 1,5 tahun (tajuk tanaman telah menutup). Kalau kondisi lahan sudah banyak ditumbuhi gulma sebelum ditanam, perlu dilakukan weeding tebas atau kimiawi dengan penyemprotan herbisida, tergantung kondisi lahan.

Cara manual, biasanya dipakai alat parang. Sedangkan secara kimiawi dipakai larutan herbisida yang disemprotkan pada lahan (gulma) memakai sprayer (jenis konvensional dan CDA). Cara mekanis pernah dicoba, yaitu memakai clearing saw atau brush cutter, tetapi nampkanya kurang feasible.

Pengendalian gulma secara manual dilakukan dengan cara tebas memakai parang (tajam). Tunggul habis tebasan tidak boleh lebih dari 15 cm, agar gulma tidak mampu tumbuh tunas (copies) lagi. Penebasan dilakukan secara blanket (seluruh) bukan secara spot / ring (sekitar tanaman) atau jalur tanaman (strip). Tetapi kedua cara terakhir akan dilakukan percobaan. Barangkali cara-cara ini mampu menghemat biaya.

Hasil tebasan, kemudian dibiarkan di tempat untuk mulsa (penutup tanah) sehingga mampu menahan erosi. Serasah ini nantinya juga akan terdekomposisi menjadi hara tanah yang tersedia untuk “makanan“ tanaman pokok.

Cara penebasan secara manual dengan parang, mengeluarkan biaya yang paling murah dibanding cara kimiawi maupun mekanik. Pada lahan logged over area (rotasi kedua), prestasi kerja penebasan gulma secara manual hanya sekitar 7-8 HOK. Artinya, dalam satu hektar dapat diselesaikan sehari oleh 7-8 orang.

Dalam skala operasional, Perihal ketangkasan atau kemahiran dalam menebas, masyarakat di Sumatera Selatan dikenal sudah biasa (familier) dengan pekerjaan penebasan. Permasalahannya adalah jumlah tenaga yang harus tersedia pada unit-unit operasional tanaman dan sistem pengawasan di lapangan.

Cara Mekanik

Pengendalian gulma secara mekanik telah dicoba memakai Clearing saws tipe 252 RX. Alat ini mempunyai berat 8,9 kg (tanpa aksesori), dan jangkauan alat 1,5 m. Alat pemotong berupa gergaji (saws) circle dan bergerak searah horizontal. Clearing saws jenis ini mampu memotong kayu hingga diameter 15 cm.

Secara umum, hasil tebasan (pemotongan) dengan clearing saws sangat baik; seragam dan mampu memotong hingga tinggi tunggul sekitar 10 cm. Clearing saws nampaknya kurang cocok dipakai pada Logged Over Area yang banyak terdapat sisa tebangan. Sisa tebangan (berupa kayu) menghambat kinerja alat. Prestasi kerja alat sangat lambat (mencapai lebih dari 22 jam/Ha). Alat ini tidak sesuai untuk pekerjaan penghilangan gulma dengan ukuran kecil, tetapi cocok untuk penebangan/ pemotongan pohon (diameter 5–15 cm), oleh karena ukuran pisau atau gergaji cocok untuk pemotongan kayu.

Biaya penebasan gulma dengan Clearing Saws 252 RX termasuk tinggi (Rp. 155.300/Ha), jauh lebih tinggi dibanding dengan manual (kurang dari Rp. 100.000/Ha). Oleh karenanya, akan dicoba type atau ukuran pisau/gergaji yang sesuai dengan kondisi, jenis dan ukuran gulma, sehingga didapatkan prestasi kerja alat yang efisien.(Saifuddin Anshori)

PENGELOLAAN RESIDU TEBANGAN

PENGELOLAAN RESIDU TEBANGAN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Acacia mangium ROTASI KEDUA

Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) terdiri dari berbagai komponen kegiatan yang berkaitan erat, integral (menyatu) dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam jangka panjang. Secara garis besar beberapa kegiatan pengelolaan HTI meliputi persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemelihara-an, pemanenan, transportasi dan lain-lain yang semuanya itu harus dilakukan dengan baik dan benar guna menjamin kelestarian produksi dan hasil.

Semakin intensif kegiatan pengelolaan lahan (site) HTI terutama untuk jenis-jenis cepat tumbuh seperti Acacia mangium akan berdampak langsung pada produktivitas daur berikutnya. Panen batang kayu dan kulit menyebabkan hilangnya unsur hara (pengangkutan keluar). Besarnya kehilangan ini tergantung pada volume panen dan level unsur hara spesifik yang terdapat pada batang kayu dan kulit. Hilangnya unsur hara saat pemanenan mempunyai dampak yang penting pada siklus unsur hara pada HTI.

Apakah Residu Tebangan Itu?

Sejak tahun 1998 PT Musi Hutan Persada telah melakukan kegiatan pemanenan Acacia mangium rotasi pertama dengan volume merchantable lebih dari 200 m3/Ha. Pemanenan merupakan salah satu kegiatan pengelolaan yang berpengaruh besar pada kesuburan lahan dan produktivitas tegakan HTI dalam jangka panjang.

Biomass cabang, ranting, daun dan batang diameter kurang dari 8 cm (residu tebangan; lihat Gambar 1) yang biasa dijumpai di areal bekas tebangan / logged over area (LOA) merupakan sumber hara potensial (Tabel 1), jika dikelola dengan benar.

Bagi sebagian orang, sisa (residu) tebangan hanya dianggap “sampah” yang tidak berguna, sekedar ditumpuk sebagai bantalan pada jalur alat sarad (forwarder) untuk mengurangi pemadatan tanah. Padahal, sebenarnya, residu tebangan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman daur selanjutnya.

Kegiatan pemanenan yang kontinyu tanpa memper-hatikan budget unsur hara, daya dukung lahan dan pemadatan tanah akan mempercepat kehilangan unsur hara dan akan habis dalam beberapa rotasi sehingga produktivitas tegakan menurun pada daur berikutnya.

Tabel 1. Jumlah unsur hara yang berasal dari residu tebangan A. mangium daur pertama

KOMPONEN

HARA ( Kg/ha)


N

P

K

Ca

Mg

Daun

127

4.4

53

24

6.6

Cabang & batang (d<8>

326

5.4

77

259

40

Total

453

9.8

129

283

46

Pentingnya Residu Tebangan

Penelitian pengelolaan residu tebangan untuk pertanaman A. mangium rotasi kedua di PT. MHP telah dilakukan dengan beberapa perlakuan kuantitas residu tebangan sebagai berikut:

BL-0 ; Semua residu tebangan (daun, cabang,

batang diameter <>

BL-1 ; Semua residu tebangan (daun, cabang,

batang diameter <>

BL-2 ; Semua residu tebangan (daun, cabang,

batang diameter <>

BL-3 ; BL 2 ditambah residu tebangan dari plot BL-1(double slash)

dan kandungan hara masing-masing perlakuan disebutkan pada tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Kandungan hara residu tebangan pada masing-masing perlakuan

Perlakuan

Kandungan hara (kg/ha)

N

P

K

Ca

Mg

BL-0

BL-1

BL-2

BL-3

0

125.3

578.5

959.3

0

2.5

12.6

21.2

0

24.3

156.5

270.3

0

53.6

345.3

582.4

0

11.5

53.9

93.2

Hasil sementara dari penelitian tersebut pada umur 1.5 dan 2 tahun menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan BL-0 dengan perlakuan lain. Sementara perlakuan BL-1, BL-2 dan BL-3 tidak berbeda nyata. Penambahan biomass residu tebangan pada plot BL-3 ternyata memberikan pertumbuhan awal terbaik pada beberapa tingkatan umur Acacia mangium. Untuk lebih jelas, pengaruh pengelolaan residu tebangan pada produktivitas tanaman dapat dilihat pada gambar 2.

Tanaman Acacia mangium daur kedua umur 1.5 tahun menunjukkan produktivitas (pertumbuhan) terendah untuk perlakuan BL-0 sebesar 22.95 m3/ha, dan semakin meninggi berturut-turut BL-1 (26.47 m3/ha), BL-2 (27.99 m3/ha), BL-3 (29.06 m3/ha). Umur 2 tahun masih menunjukkan trend yang sama berturut-turut dari volume terendah BL-0 (45.08 m3/ha), BL-1 (50.05 m3/ha), BL-2 (53.11 m3/ha), BL-3 (56.42 m3/ha). Volume tersebut mencerminkan kondisi tegakan di lapangan dengan memperhitungkan umur dan prosentase kematian dalam tiap hektarnya.

Kegiatan operasional pemanenan yang selama ini dilakukan dengan tetap meninggalkan residu tebangan pada petak-petak yang ditebang merupakan sebuah langkah maju dan bijak dalam menjaga kelestarian suplai unsur hara dan produktivitas tegakan rotasi berikutnya. Biomass residu tebangan sebagai penyusun horizon organik mampu melindungi tanah dari erosi, kekeringan, pemadatan tanah, meningkatkan kapasitas pergantian kation dan penyimpanan air dari lapisan tanah atas. Bahkan ada pendapat menyatakan sebaiknya kulit pohon yang ditebang juga ditinggalkan di tempat penebangan karena kaya akan unsur-unsur hara dan berfungsi sebagai bahan mulsa.

Gambar 2. Pengaruh perlakuan pengelolaan residu tebangan terhadap pertumbuhan A. mangium Rotasi kedua

Beberapa literatur menyebutkan kehilangan unsur hara akibat panen mencapai 20% dari persediaannya. Artinya, jika produktivitas tegakan konstan maka persediaan unsur hara akan menipis paling lambat setelah daur kelima. Selanjutnya lahan mengalami defisiensi (kekurangan) unsur hara atau terdegradasi.

Di PT. Musi Hutan Persada, berdasarkan hasil penelitian, pada tanaman rotasi kedua belum menunjuk-kan terjadinya defisiensi unsur hara. Meskipun demikian kehilangan unsur hara tidak dapat dihindar-kan secara total sebagai akibat kegiatan pengelolaan HTI. Untuk itu, tetap dibutuhkan pengelolaan yang tepat dan terpadu seperti mencegah terjadinya kebakaran yang mengakibatkan hilangnya unsur hara ke atmosfir (menguap), pembatasan akses alat-alat pemanenan (berat) hanya pada jalan-jalan sarad untuk meminimalkan erosi, kerusakan/ pemadatan tanah, pengelolaan tumbuhan bawah serta tidak kalah pentingnya manajemen pemupukan tepat waktu dan sasaran sebagai pengganti unsur hara yang hilang guna menjamin pasokan unsur hara secara berkesinam-bungan dan lestari.(Dwi Sulistiyono, Saifudin Ansori dan Eko B. Hardiyanto)