25 September 2007

KESAN PERTAMA BERKUNJUNG KE NEGRI SAKURA

MELIHAT NEGARA MAJU BERPERILAKU

(Kesan Kunjungan Pertama ke Negeri Sakura)

Pada pertengahan tahun 2004, selama 3 minggu, saya berkesempatan mengunjungi beberapa kota di Jepang, negara yang dikenal dengan bunga Sakura-nya. Tapi, sayang waktu itu lagi musim panas, sehingga saya tidak bisa menikmati Sakura. Kota-kota yang saya kunjungi adalah Osaka, Kyoto, Okayama, Wakayama, Sapporo dan beberapa kota kecil di sekitar Kyoto.

Perjalanan di tempuh dari Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang menuju Changi Airport Singapura dengan pesawat Silk Air. Transit di Bandara Singapura, saya manfaatkan fasilitas internet bebas biaya untuk berkomunikasi dengan kerabat, yang kebetulan tinggal di Osaka. Layaknya handphone, fasilitas internet ini bisa dipakai untuk kirim sms (short message service) ke nomor handphone di Jepang. Begitu canggihnya jaman sekarang ini, sehingga jarak tidak menjadi halangan lagi untuk berkomunikasi. Penulis bayangkan alangkah efisiennya, bila kita sudah memakai fasilitas internet ini. Kita tidak perlu berkumpul dari jarak antara yang berjauhan, hanya untuk mendapatkan satu informasi, pengarahan dari pimpinan atau sekadar kirim data. Cara ini memakan waktu, membuang biaya dan bikin capek pula.

Setelah transit selama sekitar 4 jam, kemudian perjalanan berlanjut ke Osaka menumpang pesawat Singapore Airlines, setelah sekitar 1 jam transit di Bangkok Thailand (Melihat Bandara di Bangkok, masih bolehlah kita membanggakan Bandara Soekarno-Hatta..). Tiba di Bandara Kansai International Airport, saya sudah disambut dengan angin tayfun. Dalam hati, saya berkata, “Karena kondisi alam inilah, barangkali negara ini menjadi maju!”. Memang angin tayfun sudah menjadi langganan hampir di seluruh wilayah di Jepang, disamping gempa bumi, terutama pada saat menjelang musim panas dan menjelang musin dingin.

Secara umum, Jepang memiliki 4 musim, yaitu musim semi (spring) bulan Maret – Mei, musim panas (summer) bulan Juni – Agustus, musim gugur (autumn) bulan September- Nopember, dan musim dingin (winter) bulan Desember – Pebruari. Di masa lalu, pada musim panas saja, Jepang mampu menghasilkan bahan makanan dari kegiatan pertanian untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi kini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Jepang telah menghasilkan berbagai macam bahan makanan, dan tidak tergantung pada musim, diantaranya dengan cara budidaya dalam green house (rumah kaca).

Efisien dan Efektif

Dari Bandara Kansai International Airport di Osaka, kota terbesar kedua di Jepang setelah Tokyo, saya menuju ke kota Kyoto menumpang kereta listrik. Perjalanan ini kami tempuh sekitar 1,5 jam.

Alat transportasi yang paling umum digunakan di negara maju ini (barangkali juga di negara maju lainnya) adalah kereta api. Letak stasiun kereta di kota-kota Jepang diatur sedemikian rupa, sehingga masyarakat umum bisa menjangkaunya. Orang bepergian dengan mudah dan efisien dapat menempuh dengan kereta. Pelayanan kereta disana sangat memuaskan dan tepat waktu. Penyandang cacat, orang tua dan ibu hamil mendapat pelayanan prioritas. Budaya antri sudah menjadi bagian hidup mereka, tidak seperti di negara kita - antar calon penumpang saling berebut, ingin mendahului. Rasa toleransi orang-orang Jepang sangat tinggi, sehingga mereka sangat menghargai orang asing (walaupun terkesan pula, mereka menutup diri). Tidak terdengar obrolan diantara mereka didalam kereta (kalau terdengar obrolan, bisa ditebak paling orang China, Korea atau bahkan Indonesia!). Sebagian besar mereka asyik baca buku, anak-anak dan remaja biasanya suka baca komik. Sebagian yang lain ambil istirahat, menyimpan tenaga untuk aktifitas selanjutnya.

Pemakaian kendaraan bukan menjadi tolok ukur kelas sosial di Jepang. Orang memilih alat transportasi semata-mata mempertimbangkan efisiensi dan kepentingan. Di kota pelajar, seperti Kyoto, sebagian besar orang suka mengendarai sepeda onthel, pejabat tinggi sekalipun, seperti rektor perguruan tinggi, pejabat pemerintah maupun swasta.

Mobil dan kendaraan bermotor roda dua, umumnya dipakai untuk perjalanan jauh yang tidak bisa ditempuh dengan kereta. Perjalanan dekat atau tidak terlalu jauh, biasa ditempuh dengan sepeda onthel atau berjalan kaki.

Kesan efisien dan efektifnya kerja orang-orang Jepang, bisa dilihat pula, ketika mereka akan bekerja. Setiap aktifitas yang akan dilakukan, mereka merencanakan secara detail sebelumnya.

Disiplin

“Disiplin!” Itulah jawaban saya, ketika ditanya, “Apa kesan pertama tentang Jepang?”. Maksud saya, orang-orang Jepang sangat disiplin dalam hal waktu dan ketaatan pada aturan. Kesan ini, sudah muncul saat pertama kali bertemu dengan Prof. Seiichi Ohta, person yang “mengundang” penulis. Tidak seperti kebanyakan di tempat kita, mereka tidak perlu basa-basi, seperti tanya ngalor-ngidul, tetapi langsung to the point. Hal pertama yang dilakukan setelah menerima saya, beliau membuat program kegiatan saya selama akan tinggal di Jepang (asyik di depan komputer). Baru kemudian, saya dikenalkan pada staf dan beberapa mahasiswa di sana, sambil langsung mengikuti presentasi hasil penelitian salah satu mahasiswanya.

Kesan disiplin juga terlihat cara mereka berlalu lintas, baik pejalan kaki, bersepeda, sepeda motor maupun kendaraan roda empat. Rambu-rambu lalu lintas diatur dan dilengkapi sedemikian rupa, sehingga lalu lintas demikian tertibnya. Pejalan kaki tidak ada yang semau gue nyelonong sewaktu menyeberang jalan. Bagi penyeberang jalan, sudah ditentukan tempatnya, dan dikasih waktu (terbatas) untuk penyeberangan. Demikian pula sepeda, sepeda motor apalagi kendaraan roda empat. Waktu pemberhentian bus umum di halte telah diatur. Saya sempat punya pengalaman ketinggalan 20 m mengejar bus, tetapi tetap ditinggal!

Polisi, di banyak tempat telah tergantikan alat berbau teknologi tinggi di negara Pesumo ini. Pelanggaran berlalu lintas dapat terekam dari kamera atau signal yang dipasang pada lokasi tertentu, sehingga menambah mereka menjadi sangat disiplin. Seorang pengendara sepeda motor atau mobil, apabila telah melanggar lalu lintas sebanyak 4 kali, hukumannya lumayan berat. SIM (surat ijin mengemudi) akan dicabut, dan 3 tahun kemudian baru bisa mendapatkan SIM kembali. Pengendara mobil yang mengakibatkan orang lain celaka hingga mati, selain SIM dicabut, juga dikenakan denda hingga 20 juta yen atau sekitar 1,6 milyar rupiah!

Disiplin juga tercermin pada mereka dalam menjaga kebersihan. Tidak ada sampah secuil kertas atau sepuntung rokok pun berserakan di kota maupun di kampung-kampung. Setiap rumah, kantor atau tempat-tempat tertentu tersedia tempat (tong) sampah. Masing-masing jenis sampah tidak boleh dicampur. Sampah yang bisa didaur-ulang dikelompokkan sendiri, demikian juga plastik (dan sejenisnya yang tidak bisa di daur-ulang), dan juga jenis kaleng. Jepang memiliki area dan alat pengolah sampah, yang dapat mendaur-ulang dan hasilnya dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Pada saat ini, Jepang mencoba mengolah sampah rumah tangga dengan cara dibuat arang. Arang berasal dari sampah ini dapat dipakai sebagai bahan bakar, bahan pemodifikasi kelembaban rumah (sudah jamak kalau di kolong-kolong rumah di Jepang dikasih arang untuk menambah hangat ketika musim dingin, dan mendinginkan ketika musim panas). Bahkan banyak jenis makanan di Jepang dicampuri dengan arang untuk kesehatan.

Saya sempat berkunjung ke beberapa pabrik arang. Bahan arang, rata-rata berasal dari limbah, misalnya sekam padi, serbuk gergajian kayu, dan -itu tadi- limbah rumah tangga. Pabrik besi terbesar di dunia, yaitu Japan Future Enterprise Steel Corporation (JFE) di kota Okayama (dekat Nagasaki), telah melakukan pengolahan limbah rumah tangga dari komplek perumahan karyawannya menjadi arang. Arang ini, kemudian dipakai sebagai bahan bakar pada pabrik tersebut (seperti kulit kayu Acacia mangium dipakai bahan bakar di pabrik PT. TEL). Bahan yang telah dibikin arang mempunyai nilai kalori jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apabila bahan tersebut langsung dipakai sebagai bahan bakar. Dus, barang yang kita anggap sampah sebenarnya “bukan” sampah, bila kita bisa mengolahnya!

Bagi perokok asal Indonesia barangkali akan merasa tersiksa di negeri yang penduduknya terkenal suka makan ikan mentah ini. Perokok diberikan tempat khusus, tidak boleh merokok di sembarang tempat, di ruang-ruang publik seperti stasiun kereta, mall, apalagi di perkantoran, industri dan kampus.

Lain halnya dengan negara kita. Sampah begitu berserakan di mana-mana, belum dikelola secara baik. DKI Jakarta sebagai propinsi ibukota negara kita saja, belum mempunyai pengelolaan sampah yang baik. Ingat Kasus Bojong di kabupaten Bogor? Mau ngolah sampah harus pinjam wilayah orang lain, masih bermasalah pula dengan masyarakat sekitar. Kasus lain terakhir, setelah ditimpa bencana besar gelombang tsunami dan gempa bumi di ujung Sumatera, masih saja kita mendengar berita bencana di Leuwigajah Cimahi Jawa Barat. Disana banyak korban meninggal karena tertimpa sampah! Inilah, barangkali perlunya kesadaran kita, baik pemerintah, swasta dan yang paling penting adalah masing-masing diri kita.

Teknologi untuk Semua

Berjalan-jalan di Jepang, untuk pertama kalinya, barangkali kita bisa stress. Apalagi kalau tidak ada kawan sesama negara sendiri. Di sana, semua serba mesin. Mesin dipakai hampir di semua keperluan, dari beli rokok di pinggir jalan, beli karcis kereta dan masuk ke stasiun, teknologi canggih di perindustrian hingga aktifitas pertanian. Teknologi diterapkan pada kawasan perkotaan maupun pedesaan.

Ambitious Japan! Ambisi Jepang! Kata-kata semangat ini bisa ditemui pada kereta api Sinkansen, kereta api yang mampu melaju dengan kecepatan 300 km/jam! (sebagai gambaran, Jakarta – Yogyakarta bisa ditempuh hanya dengan waktu kurang dari 2,5 jam dengan kereta ini!). Ada dua interpretasi kata-kata itu, menurut penulis; pertama, bahwa bangsa Jepang seakan berteriak, “Punyailah semangat dan ambisi untuk maju!” atau kedua, “Lihat, inilah salah satu buah ambisi dan semangat kami!” Begitulah, semangat mereka yang kemudian mampu membawa mereka menjadi negara maju di dunia, yang bisa disejajarkan dengan Amerika.

Saya merasa grogi ketika pertama kali masuk sebuah mobil staf Universitas Kyoto untuk field trip ke Kitayama, salah satu site hutan tanaman di dekat Kyoto. Peta lokasi dan perjalanan dapat dilihat pada video yang dipasang di dashboard mobil. Seluruh wilayah Jepang telahdipetakan dan didigitasi, kemudian diintegrasikan dengan GPS (global position system). Tinggal atur dan pilih peta mana, mau kemana, dan lewat mana. Semua bisa di-se. Alat ini juga dilengkapi dengan sistem audio, yang dapat memberikan informasi posisi, jalan apa, di depan perjalanan kita nanti ada apa. Kalau rute kita sudah di-se, kita akan terus diarahkan, seperti misalnya 50 meter kedepan harus belok kiri, di depan terdapat Bank Nasional, dan sebagainya. Sebegitu canggihnya! hasil teknologi diterapkan untuk seluruh kehidupan mereka. Barangkali kita memerlukan waktu 100 tahun untuk menyamai dalam hal teknologi.

Teknologi tinggi juga dipakai di perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk mendukung proses belajar dan penelitian. Fasilitas penting mereka, terutama adalah akses internet, perpustakaan dan peralatan laboratorium. Seluruh mahasiswa bebas mengakses internet untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi. Jurnal-jurnal ilmiah, hasil penelitian dan berbagai informasi bisa diakses dan di-down loa dari sini. Perpustakaan dilengkapi dengan buku-buku dan jurnal ilmiah terbaru dari seluruh dunia. Saya mendapati jurnal-jurnal terbitan Indonesia, Thailand, Malaysia, dan negara lainnya untuk subyek-subyek tertentu, seperti masalah hutan tropis.

Sebagian besar waktu saya di sana untuk kegiatan di Laboratrium Hutan Tropis di Universitas Kyoto, FFPRI – Forest and Forestry Products Research Institute (Puslitbang Kehutanan-nya Indonesia) dan Kunjungan ke beberapa industri arang. Penulis mendapatkan peralatan laboratorium sangat lengkap dengan teknologi terkini, seperti alat analisa tanah, jaringan tanaman, bioteknologi, dan sebagainya. Beberapa alat belum saya lihat di Indonesia. Satu set alat penelitian biasa dipasang dan ditinggalkan di tengah hutan, yang secara otomatis data-datanya akan terekam pada komputer. Mereka terlihat sangat serius dan enjoy dengan pekerjaannya.

Para petani di Jepang juga telah memakai teknologi tinggi. Dalam mengerjakan kegiatan persawahan, misalnya, dari mengolah tanah hingga pemanenan semua dikerjakan dengan mesin, sehingga sangat efektif dan efisien.

Cinta Lingkungan dan Peninggalan Sejarah

Walaupun penduduk negara Jepang termasuk padat, yaitu mencapai sekitar 150 juta, dengan luas wilayahnya kira-kira seluas pulau Sumatra, Jepang sangat menghargai hutan. Tidak ada lagi pengembangan perumahan baru di sana, pada saat sekarang ini. Mereka lebih mengembangkan perumahan ke arah atas (vertikal), seperti rumah susun.

Jepang mempunyai hutan sekitar 25 juta hektar. Sekitar 13 juta hektar adalah hutan tanaman. Mereka telah membangun hutan tanaman sejak tahun 1840. Namun demikian, mereka masih impor sekitar 70 prosen dari total kebutuhan kayu. Hutan lebih banyak difungsikan untuk konservasi dan menjaga lingkungan. Di beberapa lokasi hutan tanaman, tidak ditemui adanya tanah-tanah kosong tanpa tanaman, bahkan sampai tempat-tempat tinggi dan terjal.

Jalan-jalan di tengah hutan sudah bagus dan diaspal, sehingga mobil jenis Sedan yang kami kendarai saat itu pun tidak jadi soal melintas disana. Jalan-jalan tidak perlu lebar, tetapi dilengkapi dengan rambu-rambu seperti spion (kaca cembung) di setiap belokan untuk mengetahui situasi dari arah berlawanan.

Sungai-sungai, baik sungai di tengah hutan maupun yang melintas kota, terlihat jernih dan belum kotor oleh sampah, sehingga masih terlihat banyak orang memancing ikan. Inilah pentingnya mereka mengelola sampah, dan dimulai dari masing-masing mereka. Begitu serius dan patuhnya mereka menjaga lingkungan.

Kalau kita mempunyai peninggalan kerajaan masa lalu seperti Borobudur dan Prambanan, mereka juga punya banyak candi di Kyoto. Candi-candi ini biasanya terletak di lereng gunung atau bukit. Mereka masih menjaga dan melestarikannya sebagai obyek wisata. Oleh karena lokasinya di lereng pegunungan, hutan di sekitar candi ini juga dipertahankan dan dipelihara. Pohon-pohon berdiameter besar dan tinggi dibiarkan tumbuh, tidak ada seorang pun punya keinginan untuk menebang, apalagi merusaknya. Itulah mereka, negara maju yang bermula dari perilaku.

Jepang, begitu indah alamnya. Negara maju berteknologi tinggi. Orang-orangnya ramah, penuh toleransi, disiplin dan pekerja keras. Ah, jadi kepingin lagi tinggal disana. (Saifudin Ansori)

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, ketinggalan banyak, ya sama mereka

SAIFUDIN ANSORI mengatakan...

Yang membuat mereka cepat maju adalah dimulai dari pemimpinnya. Pemimpin akan sangat malu kalau tidak menjadi contoh rakyatnya, bahkan sampai bunuh diri bila mereka sudah merasa "tidak berguna"

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan faktor "keteladanan" itu. Pemimpin, apa dan dimana saja, di rumah, di kantor, di birokrasi bahkan di langgar sekalipun menjadi kunci utama yang ditunggu untuk segera memberikan contoh yang baik kepada yang dipimpin. Dengan itu, insya allah dengan keunggulan yang kita miliki dari Jepang, kita akan bisa melebihi mereka dan akan menikmati hidup yang lebih sejahtera dari mereka, dunia akhirat lagi.