02 Desember 2007

TIDAK RASIONALKAH MANAJEMEN HUTAN KITA?

Pertanyaan ini pasti muncul, ketika membaca tema seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM pertengahan November 2007 yang lalu. Tema seminar itu adalah RASIONALISASI PENGURUSAN HUTAN INDONESIA. Tidak rasional kah pengurusan hutan kita selama ini?

Bagi penyelenggara seminar, pasti akan jawab, “Ya!” Bagi pelaku utamanya, yakni pemerintah, bisa Ya, bisa Tidak. Itu, tentu saja, setelah melihat perkembangan (dinamika) pembangunan (?) hutan kita sejauh ini. Dalam kurung tanda tanya, maksud saya adalah bahwa apakah selama ini kita melakukan pembangunan atau perusakan hutan? Kalau pembangunan, kok data degradasi lahan mencapai 2,5 juta ha/tahun? Kalau perusakan, kok ternyata masih banyak manajer-manajer di setiap kawasan atau daerah? Masih lengkap ada Menterinya, Dirjennya, Kepala Dinasnya sampai lembaga-lembaga pendukungnya, seperti Puslitbang, Balit, BPDAS, bahkan lembaga ilmiah seperti Fakultas Kehutanan masih “memproduksi” terus calon-calon rimbawan, yang tentu saja, fakultas itu mengharapkan alumninya bisa dan mampu membangun hutan kita ini.

Itulah memang, penyelenggara, yaitu Fakultas Kehutanan UGM memandang perlu bahwa kita harus segera mereformasi (kalau tidak boleh memakai kata revolusi) pengurusan hutan kita. Selama ini Pemerintah yang hanya lebih banyak berperan sebagai Regulator, sudah saatnya sekarang untuk action di lapangan, betul-betul mengurusi hutan. “Membumi,” kata orang.

Contoh tidak Rasional

Informasi dasar, yaitu luasan hutan kita yang sesungguhnya, belum diketahui secara pasti, bahkan oleh Pemerintah sendiri. Ini contoh real. Bagaimana kita bisa mengurusnya, kalau luasnya saja tidak tahu benar. Ya, tentu saja, oleh karena memang hutan kita luas (beberapa data menyebut lebih dari 100 juta hektar. Bandingkan dengan Jepang yang hanya 25 juta hektar). Kita perlu waktu dan teknologi untuk mengetahui ukuran yang pasti. Belum lagi, tumpang tindih penggunaanya antara kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, misalnya. Itulah, mengapa, barangkali panitia mengajak kepada peserta seminar (kemudian memberikan masukan kepada menteri Kehutanan) untuk merestrukturisasi manajemen hutan, yang mengakomodir berbagai kepentingan, yang lebih holistik, komprehensif dan pro terhadap rakyat. Pro poor, istilah kerennya.

Contoh tidak rasional yang lain, adalah bahwa selama ini devisa (masukan) bagi Negara berasal dari hutan, selalu hanya dikaitkan dengan jatah tebangan (artinya kayu). Padahal, di dalam hutan itu tersimpan berbagai sumberdaya, yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia, mulai dari produksi Oksigen, penyerapan karbon (mengurangi global warming), penyimpan air, plasma nuthfah, berbagai flora dan fauna yang bermanfaat bagi kita dan sebagainya. Sungguh pun telah ditetapkan kawasan hutan sesuai dengan peruntukannya, seperti kawasan produksi, kawasan konservasi, kawasan lindung dsb, tetapi ternyata banyak terkonversi oleh pihak-pihak yang boleh kita bilang tidak bertanggungjawab. Itulah penyebabnya, yang kemudian membuat hutan kita terdegradasi.

Masih ada contoh lagi. Di DIY hanya terdapat kawasan hutan seluas sekitar 15.000 ha saja. Itu pun, banyaklah hutan bukan produksi. Pegawai negeri (di bawah Dinas Kehutanan) yang terlibat disana, sekitar 500 orang. Itu, artinya setiap 30 ha, diurus oleh 1 orang. Di perusahaan swasta, contoh di sebuah HTI Sumatera Selatan, hutan seluas 20.000 ha, hanya cukup dikelola oleh sekitar 60 orang. Lebih Rasional yang mana, antara di Dinas kehutanan DIY atau di perusahaan swasta di Sumatera Selatan?

Masih ada contoh irrasional yang lain. Misalnya, adakah kantor Dinas Kehutanan, atau katakanlah Lembaga Penelitian Kehutanan, yang berada di tengah hutan di Negara kita ini? Bagaimana hati pengelola dan karyawannya tertambat di hutan, jika kantornya saja di dekat mall dan stadion? Contoh lain.. Ketika kita tahu bahwa ada kasus illegal logging (dari berita Koran dan Televisi), dan disitanya kayu oleh aparat dan Polhut, kejadiannya sudah berada di laut! Bisa ditebak kan, kalau memang pengamanan kurang dilakukan di hutan, dimana pepohonan masih tegak berdiri? Sungguh pun kasus illegal logging terungkap, tetapi tegakan pohon telah tumbang dan lahan sudah menggundul. Masih banyak contoh-contoh bentuk dan temuan pengurusan hutan yang irrasional.

Akhirnya, kita berharap, mulai 2008 ini ada gerakan yang reformis (kalau perlu revolusioner) dari pemerintah, yang mampu membangun kembali hutan kita dan bukan sebaliknya. Kita tunggu bentukan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang menjadi rekomendasi Fakultas Kehutanan UGM bagi hutan yang lestari di masa-masa mendatang. (Saifudin Ansori)

Tidak ada komentar: